Review: Lelaki Terindah

4

wp-1541296201761..jpg

Lelaki Terindah

Penulis: Andrei Aksana

Editor: Hetih Rusli

Setter: Anna Evita

Desain Sampul: Marcel A. W.

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 978-602-03-1817-2

Cetakan: VII (Juni 2017)

Jumlah Halaman: 224 hlmn

*

ᴥBlurb ᴥ

Suatu ketika dulu

Aku pernah dihanyut asmara

 

Tapi tak pernah ku tenggelam

Karena kekuatan cintamu

Menjadi perahu dan dayungku

 

Hanya engkaulah yang mampu

Melenyapkan ragu menjadi tahu

Memupuskan kelu menjad deru

 

Hanya engkaulah yang bisa

Menggantikan tawar menjadi rasa

Menghadirkan tiada menjadi ada

 

Karena hanya engkaulah…

 

Lelaki terindah di hidupku…

*

Cerita dimulai dengan satu sajak pendek—sajak-sajak yang akan selalu ada di tiap-tiap halamannya. Sebagian memilin hati, sebagian yang lain terasa terlalu FTV.

Sudah kualami perih karena kehilangan

Sudah kureguk kecewa karena ditinggalkan

Sudah ku didera luka karena dikhianati

 

Semuanya belum seberapa

 

Hanya ada satu derita yang paling menyiksa

Jatuh cinta

Tapi tak bisa memiliki

Rafky tergesa-gesa menghadang Aku di koridor kedatangan internasional di bandara. Seperti meteor ia melesat. Angin kalah cepat dengan ayunan kakinya. Dengan napas satu-satu, ia memohon kepada Aku, “Tolong… Hanya kau yang bisa menuliskan kisah ini. Hanya kau yang bisa membuat kisah cinta ini mengharukan… bukan kisah cinta yang disisihkan, dicela, dicemooh.”

Aku tergetar hatinya. Kisah cinta macam apa yang sebenarnya Rafky maksud? Yang pemuda rupawan, berhidung mancung, dan berperawakan tinggi besar ini ingin Aku tuliskan?

“Aku mencintai seorang laki-laki,” sahutnya pedih.

Aku tercengang, tertampar kata-kata. Aku menolak menuliskan kisah ini. Aku tidak akan pernah menuliskan cerita ini. Tidak akan pernah.

Tapi perasaan apa yang mengejar-ngejar Aku? Yang membuat batin Aku tersiksa? Gelisah? Gundah gulana sampai berhari? Berminggu? Berbulan? Lama sekali? Sampai-sampai tiap-tiap malam Aku sulit memejamkan mata?

Seperti dikejar bayang-bayang

Meski tak melakukan kesalahan apa-apa

Mengapa kebenaran justru membuat kita

selalu merasa tersiksa?

Barangkali karena kebenaran telah lama terpenjara…

Sanggupkah Aku menuangkan kisah cinta yang disingkirkan masyarakat? Kisah cinta yang sebenarnya terjadi, tapi selalu diingkari? Haruskah Aku juga bersikap kejam? Sama seperti yang lain? Haruskah Aku menghakimi cinta seperti ini?

Lalu Aku membuka layar laptop.

Dan mulai mengetik.

Dan merasakan air mata meleleh.

Kalau saja Rafky membiarkan dirinya ketinggalan pesawat, mungkin cerita ini takkan pernah benar-benar ada. Kalau saja mbak-mbak penjaga konter penerbangan menuju Thailand itu benar mengikuti prosedur, dan berkeras meminta Rafky untuk naik penerbangan selanjutnya, mungkin segala yang terjadi di antara Valent dan Rafky takkan pernah menjadi nyata. Kalau saja segala ‘kalau’ tadi benar terjadi, maka tak perlu ada hati yang tersakiti.

Tetapi bukankah manusia memang senang berkalau-kalau? Kerap kali menginginkan untuk berputar balik dalam kehidupan, kemudian memilih jalan yang lain, pilihan yang lain, kesempatan yang lain?

Begitulah kisah Rafky dan Valent bermula; pertemuan di pesawat mempersatukan mereka. Ada sesuatu dalam diri mereka masing-masing yang saling tarik-menarik, ikat-mengikat. Valent bagi Rafky adalah permata yang mudah pecah, bidadari musim semi, dua dimensi yang saling memagut, berporos ke dalam keselarasan. Laki-laki dan perempuan. Gagah sekaligus lembut.

Sedangkan Rafky bagi Valent adalah benteng kokoh, dermaga solid tempat bersandarnya segala kebimbangan.

Meski begitu Rafky tak langsung menerima keganjilan ini. Bertahun-tahun menjadi pecinta dan pemain wanita, logikanya menolak untuk jatuh ke dalam pesona Valent, meski hatinya berkata lain. Namun, persis aspal jalanan yang tergerus banjir di musim hujan, logika itu terkikis dan mulai lebur. Hatinya lebih vokal berdebar, dibanding kepala yang mencoba ingkar. Negara Gajah Putih ini menjadi jambangan tempat seluruh kelopak perasaan terhimpun, merekahkan getar yang tak pernah mati. Dari Ayutthaya ke Thon Buri. Festival Loy Krathong sampai The Golden Mount. Grand Palace hingga Lumpini Park, tempat monumen Patung Raja Rama VI berada.

Setiap sudut kota ini

adalah syair yang direntangkan

sepanjang itu kita tulis

 

Tak pernah sempat dibaca

Selalu saja ada kata dan kalimat baru

setiap kali kita ingin berhenti

Sedikit demi sedikit rasa itu tumbuh dalam tubuh, bertambah dalam tabah. Hingga ketika kembali ke tanah air, mereka merawat pohon perasaan itu diam-diam, sembunyi-sembunyi, sebab kekasih dan orang tua masing-masing yang tak mungkin bisa mengerti.

Dan di titik ini, hanya kesedihan demi kesedihan yang Aku mampu tuliskan. Sampai nanti, sampai salah satu dari mereka pergi dan takkan pernah bisa kembali.

*

Ada perasaan yang meledak-ledak ketika membaca buku ini. Buku yang lebih dari sekadar bagus. Buku yang kubayangkan akan dapat kutulis di masa yang akan datang. Membaca buku ini seperti melihat tulisan-tulisan yang ingin kutulisi di masa depan. Gabungan antara puisi atau sajak dengan prosa-prosa pendek, cerita unik dengan penceritaan otentik, diksi yang matang yang mampu menunjukkan di mana kelas sang pengarang.

Tentu aku menempatkan diriku tak murni sebagai pembaca, tapi juga sebagai penulis. Dan buku ini membuatku orgasme sebagai keduanya. Tekniknya memikat, apa yang disajikannya memukat.

Mengapa kita menghitung

Ringan atau berat

Kecil atau besar

Sedikit atau banyak

 

Kekecewaan kerap membuat kita menjadi pedagang

Menjual hidup kita sendiri

“Sastra berfungsi sebagai pencatat zaman. Demikian pula dengan Lelaki Terindah. Novel ini tak hanya menjadi semacam catatan tentang dua lelaki yang saling mencari dan mempertanyakan arti cinta dalam realitas kehidupan, tetapi juga membicarakan simbol-simbol dalam keterkekangan.” (Hetih Rusli dalam Lelaki Terindah, Pengantar Terbitan 11 Tahun)

Mbak Hetih juga berkata kalau buku ini telah menjadi tonggak literatur gay di Indonesia selama satu dekade. Yang pernyataan itu kemudian melahirkan pertanyaan yang lain; tonggak apa? Literatur gay yang mana? Memangnya ada?

Selama bertahun-tahun aku membaca, aku baru menemukan tiga buku yang benar menyorot kehidupan kelompok terpinggirkan ini: Cokelat Stroberi; Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; lalu terakhir Lelaki Terindah. Shit Happens, anggitan Christian Simamora, tak masuk hitungan karena kupikir homoseksualitas di dalamnya tak terlalu sentral dan diutamakan, ia berbaur dengan cerita lain yang lebih konservatif.

Lalu adikarya Andrei Aksana ini sebenarnya menonggaki apa? Literatur gay yang mana?

Mungkin pertanyaan ini harus kita gaungkan dalam kepala masing-masing; benarkah cerita-cerita sejenis kurang mampu diterima nalar dan pasar di negeri ini, hingga sedikit penulis yang mau menuangkannya dalam kata-kata? Sudah bebaskah kita sebenarnya dalam berpendapat, dalam mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri, jika masih saja ada pihak-pihak yang represif terhadap apa yang kita punya dan kita kemukakan?

Mungkin betul apa yang mereka bilang; kebenaran hanya milik sebagian orang.

Dan ketelanjangan menjadi sia-si

Padahal telah dipertaruhkan

di atas harapan dan pengorbanan

Dan menurut aku pribadi, riuh rendah sastra dalam negeri perlu disemarakkan lagi oleh buku-buku seperti ini! Selamat merayakan kata-kata!

Bintang 5

Review : Terlalu Cinta

4

Terlalu Cinta

Terlalu Cinta

Penulis: Pelantan Lubuk

Editor: Tiara Purnamasari

Layout: Tiara Purnamasari

Desain Sampul: Roeman-Art

Penerbit: Mazaya Publishing House

ISBN: 978-602-72920-6-2

Cetakan: I (Desember 2015)

Harga:  Rp. 77.000,-

*

ᴥBlurb ᴥ

Berdentang sebuah puisi di benakku. Malang adalah kota di mana kita berjumpa, saling mencintai, dan tak berdaya meminta waktu agar sudi kembali.

Lirih puisi lain melambai. Malang adalah kota di mana kita berjumpa, saling mencintai, tak berdaya mengulang hari, tapi kita bisa berjani: janji berjumpa lagi.

Besok malam, waktu untuk menunaikan janji itu tiba. Tidak ada janjian apa pun, selain empat tahun yang lalu ketika jalan cerita lelaki itu menemui titik buntunya, dan mereka berdua putus asa dengan segalanya. Tidak ada janjian apa pun, selain empat tahun yang lalu, untuk bertemu di tempat pertama kali mereka menyudahi semuanya.

Jika mereka sama-sama bisa datang, berarti kisah telah memilih tetap pada lembaran yang sama. Tak perlu ada keraguan lagi. Tak perlu ada penegasan lagi.

Jika di antara mereka ada yang tak datang, berarti kisah telah memilih lembaran yang berbeda. Tak perlu ada kabar lagi. Tak perlu ada penegasan lagi.

Dan hari ini, aku memilih datang.

Aku memilih tetap pada lembaran yang sama.

*

“You must not lose faith in humanity. Humanity is like an ocean; if a few drops of the ocean are dirty, the ocean does not become dirty.”

-Mahatma Gandhi

Ikhlas menurut KBBI: ikhlas a bersih hati; tulus hati.

Ikhlas menurut sebagian netizen dewasa ini: tidak eksis, sekalipun eksis selalu ada kepentingan kaum-kaum tertentu di baliknya.

Peduli menurut KBBI: peduli v mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan.

Peduli menurut sebagian netizen dewasa ini: perbuatan yang memiliki propaganda dalam setiap eksekusinya, selalu ada orang lain yang lebih pantas dihiraukan menurut komparasinya pribadi.

Begitulah, miris bukan?

Mungkin itu semua hanya sekadar terjemahan bebas yang sedikit berlebihan dari saya. Atau mungkin juga realita yang ada memang seperti itu, bahkan mungkin lebih parah lagi. Siapa yang tahu?

Baru saja beberapa hari menjalankan ibadah puasa, publik sudah dibuat gempar karena berita tentang seorang ibu pengelola Warteg (Warung Tegal) yang barang dagangannya habis diganyang Satpol PP. Hal ini dilakukan oleh pemerintah demi pengondusifan suasana Kota Serang selama bulan Ramadan.

Dan tenang saja, saya tidak akan mengeluarkan justifikasi apa pun tentang perkara ini. Karena, benar dan salahnya suatu perkara hanya terletak pada persepsi masing-masing bukan?

Telah banyak debat kusir dan opini-opini yang dikemukakan di berbagai portal berita, forum diskusi serta status-status di sosial media. Pun fakta-fakta dari tragedi penyitaan barang dagangan yang membuat netizen geram (dan sebagian lagi mengamini), muncul semakin banyak dan semakin tidak beretika.

Maksud saya, di mana letak pentingnya fakta bahwa pengusaha Warteg yang sukses mampu memiliki rumah di salah satu daerah yang terkenal eksklusif dalam perkara ini? ‘Pondok Indah’-nya Tegal, sebagian mengungkapkan.

Seorang wanita tua menangis demi mempertahankan dagangannya ketika dirazia. Menyedihkan? Tentu. Memancing belas kasihan? Pasti. Terlepas dari benar atau tidaknya sikap ibu tersebut terhadap peraturan yang ada, saya yakin banyak dari orang-orang di negara ini yang terketuk pintu hatinya, apalagi di bulan nan suci ini. Saya pribadi merasa teramat sedih ketika membayangkan jikalau ibunda sayalah yang berada di Serang sana, karena kebetulan ibunda saya juga seorang pedagang.

 Dan dari sebegitu banyak pintu hati yang terketuk, hanya beberapa yang mau dan peduli untuk ikhlas membantu. Salah satunya Dwika Putra (twitter: @dwikaputra).

“Karena jalan sunyi yang mulia ini, memang tak pernah ramai.”

-Izzat (hlmn 215)

Dengan rasa humanis yang tinggi, terlepas dari ada atau tidaknya tendensi lain, beliau dengan ‘Patungan Netizen’-nya mengadakan penggalangan dana yang bertujuan untuk membantu ibu pemilik Warteg tersebut. Donasi ini, ungkapnya, bukan tentang politik, agama, atau apa pun. Hanyalah semata-mata rasa kemanusiaan yang tergerak ketika melihat sesama kita yang sedang kesusahan.

“Kalian harus pastikan bahwa kalian sedang berbagi karena kalian mencintai mereka. Setulus hati. Mencintai manusia lain.”

-Eyang Tulip (hlmn 167)

Dan responnya ternyata amat sangat tak terduga. Donasi sejumlah lebih dari 265 juta rupiah telah terkumpul, membuat saya percaya kalau rasa peduli dan ikhlas belum benar-benar ranap di bumi nusantara ini. Membuat saya yakin tiap-tiap yang berhati masih menggunakannya, tiap-tiap yang berakal masih menggunakannya.

Namun sayangnya, hujatan dan ketidakpuasan yang terkumpul jua tak kalah banyaknya. Sebagian berseru bahwa banyak yang lebih membutuhkan donasi serupa seperti korban erupsi gunung Sinabung di Sumatera Utara. Padahal saya yakin, kesusahan itu tidak pantas untuk dibanding-bandingkan. Yang membedakan hanya urgensinya saja.

Sebagian lain menggunakan fakta yang menyatakan bahwa Ibu Saeni sudah cukup kaya hingga tidak lagi membutuhkan sumbangan. Padahal, semengerti saya, tak ada larangan untuk bersedekah kepada siapa saja, ataupun membantu siapa saja. Tahu kisah seorang dermawan yang menyedekahi orang kaya, pelacur dan pencuri?

“Maafkan dirimu sendiri. Pandanglah masa lalu sebagai masa lalu. Jangan sesali hal-hal buruk yang pernah terjadi dalam hidupmu. Setiap gerak di alam semesta ini punya rahasia sendiri-sendiri. Sebab akibat itu saling terkait. Mengagumkan jika kita mau memikirkan masak-masak, bahwa takdir seseorang sebagai pembunuh di kota ini ternyata bisa membuat taubat seorang pelacur di kota seberang lautan. Saling berantai, saling terkait. Maka jangan pernah sesali hidupmu.”

-Eyang Tulip (hlmn 99)

Rasa bangga saya atas masih banyaknya orang-orang yang tak lupa untuk memanusiakan manusia, mendadak remuk sebab membeludaknya respon skeptis dan nyinyir yang keluar dari mulut-mulut yang entah mengerti atau tidak konsep kepedulian.

Negara ini sedang sakit menurut saya. Dan negara ini amat, sangat membutuhkan lebih banyak lagi seseorang yang ringan tangan seperti saudara Dwika Putra. Dan saya harap, bukan hanya saya saja yang mendamba suatu tatanan kehidupan penuh cinta. Utopia untuk kita semua.

“Semua ingin hidup senang. Semua harus bercita-cita hidup senang. Menjalani hidup dengan riang. Tapi ketika keadaan sudah susah, jangan egois. Kita harus punya semangat kebersamaan yang besar.”

-Izzat (hlmn 125)

Sedikit berbeda dengan sosok Dwika Putra yang memilih membantu menyembuhkan negeri ini dengan cara membangun kembali karakter bangsa yang gemar tolong-menolong, Izzat dalam novel Terlalu Cinta yang akan saya ulas memilih jalan mendirikan sebuah komunitas mengajar yang bertujuan mengubah mentalitas-mentalitas tidak sehat pada anak-anak yang kurang beruntung agar mereka tak lagi terbelenggu oleh sistem.

“Kami belajar arti kepedulian dan pengabdian, dan biarkan anak-anak yang kurang beruntung itu belajar bahwa keadaan mereka bukanlah sebuah takdir yang tidak bisa diutak-atik, melainkan sebuah kondisi yang lahir dari mentalitas-mentalitas yang tidak sehat, sistem yang membelenggu, dan budaya yang tidak baik.”

-Izzat (hlmn 17)

Berkisah tentang Izzat Sanubari, mahasiswa asal Lombok yang menempuh perkuliahan di Kota Bunga yang dingin, Malang. Kehidupan perkuliahan Izzat amatlah jauh dari titel ‘mahasiswa kupu-kupu’. Bukan ‘kupu-kupu malam’ jika itu yang kalian tangkap, namun ‘kuliah pulang-kuliah pulang’.

“…lihatlah teman-teman kita yang tidak berorganisasi. Mereka cuma kuliah, lalu pulang. Tak ada pengalaman berharga, dan sekilas tak peduli pada idealisme mahasiswa yang harus aktif berbuat sesuatu untuk bangsa. Apakah kita sudah merangkul mereka?”

-Izzat (hlmn 34)

Izzat yang aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, ditempa hingga menjadi pribadi yang kritis dan idealis, seseorang yang peduli juga kharismatik. Namun, hal itu tak serta-merta membuat sosok Izzat pantas dimahkotai gelar ‘sempurna’.

Hubungannya yang kandas di tengah jalan karena perkara jarak dengan Jannitha, kekasihnya sejak kelas 3 SMP, mampu menghasilkan impak yang sebegitu besar bagi seorang Izzat. Rasa takut yang dialami mantan kekasihnya itu menjelma sifat posesif dan ketidakyakinan, yang berujung menduanya salah satu hati. Pengkhianatan.

Sekali lagi saya tekankan kalau hal ini telah menjadi suatu impak yang amat, sangat besar. Pengkhianatan dari perempuan yang telah dikasihi lebih dari lima tahun mampu membuat Izzat yang bijaksana menjadi seorang penjahat wanita.

Ketika Izzat semakin tenggelam dalam rasa kecewa, Bandi menyelamatkannya. Peran Bandi di novel ini tak sekadar menjadi sahabat dekat Izzat, namun juga seseorang yang melengkapinya. Bukan… bukan… Lagi-lagi kalian salah. Tak pernah ada romantisme dalam hubungan Izzat-Bandi. Pun novel ini sama sekali tak menyinggung tentang homoseksual yang dewasa ini tengah viral isu-isunya.

“Izzat telah membaca banyak sekali buku dan piawai dalam perenungan. Bandi menyajikan pengalaman-pengalaman empiris dan tahu perkembangan situasi serta tempat-tempat yang unik. Izzat membutuhkan pengalaman beragam, Bandi mencari perenungan-perenungan. Mereka klop.”

(hlmn 156)

Seperti halnya sahabat sejati, Bandi tak pernah mau menggurui pun menceramahi. Ia hanya membawa Izzat ke sebuah panti asuhan dan memintanya untuk melampiaskan kekecewaannya dengan cara yang lebih arif, yang lebih tak menyakiti tiap-tiap yang berhati.

“Kamu seperti sandal hilang sebelah. Kamu kritis di berbagai diskusi, tapi mental kamu tak jauh berbeda dengan yang kamu kritik. Bukankah kamu bilang, seseorang yang tidak bisa konsisten untuk hal-hal kecil tak kan pernah bisa konsisten pada hal-hal yang besar?”

– Bandi (hlmn 40)

Dan dari sinilah segalanya bermula.

Izzat yang telah mendapatkan nuraninya kembali, memilih untuk terjun (lagi) ke dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan kepedulian yang sempat ia lupakan. Telah sejati bebas dirinya dari kungkungan kesumat atas terbitnya luka. Dan untuk kali ini, ia membawa hatinya.

Bersama Zaki dan Rustam, kawan berdiskusinya yang cenderung kiri, Izzat menggagaskan sebuah komunitas mengajar dengan konsep yang serba berbeda. Proyek akbar ini sebegitu menyita fokusnya, hingga mau tak mau Izzat sedikit lupa tentang rasa yang berdenyar-denyar sebab sesosok ‘wajah itu’.

‘Bahaya’ yang dirasa Izzat sebab ‘wajah itu’ menggiringnya kepada keputusan demi keputusan. Terus dan terus begitu. Hingga akhirnya, pada suatu titik, rasa keputusasaan menjejakkannya pada sebuah keadaan yang mengharuskan ia memutuskan segalanya; tentang rasa yang berdenyar-denyar sebab ‘wajah itu’.

“Kalau memang benar cinta. Walau berpisah. Pasti bertemu lagi.”

-Izzat (hlmn 312)

Tak pernah saya sebegini ingin membaca sebuah novel yang terbit melalui jalur indie. Semua karena testimonium yang keluar dari bibir (atau jari) Tiara Purnamasari, pemilik penerbitan indie Mazaya Publisihing House. Beliau banyak melukiskan bahwa novel Terlalu Cinta ini bagus sebagus-bagusnya, maka tak ayal saya pun penasaran; standar ‘bagus’ bagi sebuah penerbit indie itu seperti apa?

Dan ketika novel ini mendarat di gubuk saya yang tak seberapa, saya berusaha untuk tidak mematok pengharapan apa pun. Karena, siapa sih yang sedia tahan akan rasa kecewa? Namun, pada akhirnya, semua upaya saya untuk menahan segala dugaan dan pengharapan, hanya menjadi suatu kesia-siaan.

Sebab, novel ini aduhai kerennya.

Pada dasarnya, saya lebih memilih suatu konsep cerita yang sederhana namun eksekusinya bagus dan sempurna dibanding konsep yang sebegitu bagus dan menjanjikan namun eksekusinya amboi berantakan.

Dan Pelantan Lubuk, nama pena pengarang novel ini, memilih untuk sempurna dalam kesederhanaan.

Novel ini memperkenalkan saya dengan Izzat, lelaki yang menurut saya too good to be true. Saya diajak menyelami pemikiran-pemikiran Izzat yang kritis dan idealis, mengupas dari mana saja ia mendapatkan rasa peduli dan kasih sayang yang begitu besar, serta mengembara dalam seluk-beluk hatinya yang sedemikian kompleks ketika berhadapan dengan mukjizat tiap-tiap yang bernyawa; cinta.

Dan rasanya amat, sangat menyenangkan.

“Kalian tahu problem utama orang yang jatuh cinta? Mereka mendadak bego. Problem kedua orang yang jatuh cinta adalah, mereka mendadak rempong.”

(hlmn 56)

Diksi yang estestis serta nyastra membuat saya merasa kalau novel ini adalah novel yang ‘saya banget’. Kata demi kata dirangkai sebegitu rupa oleh penulis hingga terasa tebu dan nikmat dibaca. Pun alur campuran yang lebih banyak berisi kilas balik tentang jalan cerita Izzat dikemas seapik mungkin, serunut mungkin.

Tema yang diambil memang bukanlah hal yang baru; cinta. Namun, entah mengapa, mengurai satu hal yang sakral ini bagaikan mengupas kulit bawang. Seiring berjalannya waktu, lapisan demi lapisan itu mulai terbuka. Dan kau akan mengerti bahwa ada lebih banyak lapisan di dalamnya daripada yang kau kira.

Novel ini menyajikan cerita tentang cinta yang amat kurang ajar. Cinta yang hanya datang ketika tak ada yang menyambutnya. Cinta yang lalu pergi ketika sesiapa menginginkannya. Cinta yang ketika dikejar sekuat apa pun akan menjauh persis bayang-bayang.

Cinta yang traumatis.

Dan di tengah carut-marut kompleksitas tentang cinta, saya masih disuguhi kisah-kisah lain tentang persahabatan, persaingan, kepedulian, perjuangan, kasih sayang, kesungguhan hati, cita-cita, keikhlasan dan juga kepedihan.

Satu-satunya kekurangan yang ada dalam novel ini adalah penggunaan sudut pandang yang tidak konsisten dan banyaknya typo. Beberapa kali sudut pandang ketiga yang digunakan penulis tercampur dengan penggunaan kata ‘aku’ yang sejatinya digunakan untuk sudut pandang orang pertama. Pun typo serta penggunaan kata-kata yang tidak sesuai EYD (sekarang EBI) contohnya apapun yang seharusnya apa pun, handal yang seharusnya andal dan masih banyak lagi.

Namun tenang saja, pemilik Mazaya Publishing House yang juga selaku editor novel Terlalu Cinta ini telah menjanjikan adanya perbaikan di cetakan-cetakan mendatang. Hal yang sungguh menggembirakan.

Dan terakhir, jika penulis novel ini memilih gelar ’ciamik’ teruntuk mereka yang patut diberikan seratus jempol seperti Zaki dan Rustam, maka saya akan memilih gelar kebanggaan ala saya sendiri untuk penulis yang pantas diberikan seribu jempol atas keajaiban yang disuguhkan dalam novel ini; ‘aduhai’.

Dan novel yang ‘aduhai’ kerennya ini amatlah pantas mendapatkan…

Bintang 4

This book, somewhat somehow, amazingly fantastic.

Teruntuk Pelantan Lubuk, saya tunggu karya-karyamu selanjutnya, ya!

***

P.S.

Dikarenakan novel ini terbit secara indie, maka bagi kalian yang ingin memilikinya sila kunjungi laman Mazaya Publishing House di sini.

Review : Love, Rosie

2

Love, Rosie

—Di Ujung Pelangi—

Love, Rosie

Penulis: Cecelia Ahern

Alih bahasa: Monica Dwi Chresnayani

Desain dan ilustrasi sampul: Iwan Mangopang

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 978-602-03-1493-8

Cetakan: IV (Maret 2015)

Jumlah halaman: 632 hlmn

*

šBLURB›

Mulai dari anak-anak sampai menjelma remaja pemberontak, Rosie dan Alex selalu bersama. Sayangnya di tengah-tengah serunya masa remaja, mereka harus berpisah. Alex dan keluarganya pindah Amerika.

Rosie benar-benar tersesat tanpa Alex. Namun, pada malam sebelum dia berangkat untuk bersama kembali dengan Alex, Rosie mendapat kabar yang akan mengubah hidupnya selamanya, dan menahannya di tanah kelahirannya, Irlandia.

Meski demikian, ikatan batin mereka terbukti sanggup melewati suka-duka kehidupan masing-masing. Tetapi, keduanya tidak siap menghadapi perubahan lain yang terjadi di antara mereka: Cinta.

*

“…aku tidak ingin menjadi salah satu di antara sekian banyak orang yang begitu gampang dilupakan, yang dulu pernah begitu penting, begitu istimewa, begitu berpengaruh, dan begitu dihargai, namun beberapa tahun kemudian hanya berupa seraut wajah samar dan ingatan kabur. Aku ingin kita bersahabat selamanya, Alex.”

Rosie (hlmn 35)

Love, Rosie bercerita tentang lika-liku hidup seorang wanita Irlandia bernama Rosie Dunne. Rosie dan dengan satu-satunya sahabat yang ia miliki, Alex Stewart, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja mereka dengan hal-hal menyenangkan seperti menunggu Sinterklas hingga larut malam, saling surat-menyurat di kelas sampai ketahuan lalu dihukum, bermain walkie-talkie, hingga membolos sekolah dan pergi ke bar demi memesan segelas tequila walau mereka masih di bawah umur.

“Setiap kali aku bangun pagi aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan baru beberapa menit kemudian aku sadar… baru kemudian aku ingat. Sahabatku sudah pergi. Temanku satu-satunya.”

-Rosie (hlmn 45)

Semua kegembiraan itu seperti akan berlangsung selama-lamanya, masa muda yang bagaikan sebuah jalan keemasan penuh hari-hari bahagia. Karenanya, Rosie mempunyai impian untuk mengelola sebuah hotel, dengan Alex yang bekerja sebagai dokter hotelnya. Mimpi itu sejalan dengan impiannya yang lain, yaitu dapat berada di sisi Alex selamanya, tak kenal sudah.

Sayangnya, suatu hari Alex memutuskan untuk pergi.

“Bohong besar kalau ada yang bilang hidup ini mudah.”

-Rosie (hlmn 77)

Mr. Stewart memboyong seluruh keluarganya ke Boston, Amerika Serikat, termasuk Alex yang sama sekali tak ingin berpisah dengan Rosie. Rosie yang ditinggalkan sendirian di Dublin, Irlandia, merasa rindu dan sangat kesepian. Dirinya tak lagi memiliki keinginan apa-apa selain untuk kembali bersama Alex. Oleh sebab itu, Rosie memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Boston, agar dapat selalu berada dekat dengan Alex.

Namun, sebulan sebelum Rosie berangkat ke Boston untuk kembali bersama Alex, muncul seorang lelaki yang tiba-tiba saja mengubah seluruh hidup Rosie.

 “Kembali bersamamu rasanya sungguh tepat.”

-Alex (hlmn 69)

Tahukah kamu? Menurut data WHO dalam rentang waktu 2010-2014 tercatat lebih dari 32 ribu perempuan di Indonesia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang berprestasi di tingkat ASEAN. Berprestasi dalam hal itu, maksud saya.

Hal ini, kehamilan yang tidak diinginkan, juga harus dialami oleh seorang Rosie Dunne dalam novel karangan Cecelia Ahern: Love, Rosie (judul aslinya, Where Rainbows End, terbit di Irlandia pada tahun 2004). Kehamilan di usia yang sangat dini ini memaksa Rosie untuk membuat keputusan di antara dua pilihan yang sama-sama pelik, jua yang sama-sama memiliki risiko: mempertahankan janinnya, atau mengaborsinya.

Sebenarnya, keputusan apapun yang Rosie ambil maupun orang-orang yang mengalami nasib serupa adalah keputusan yang paling baik bagi mereka. Yang pastinya sudah dipikirkan secara matang-matang hingga berjuta kali oleh mereka. Kita tentunya sama sekali tak memiliki porsi untuk menghakimi, apalagi main hakim sendiri. Porsi kita adalah untuk menjaga mereka, mengawasi, dan juga untuk selalu mendukung apapun keputusan yang mereka ambil.

Dan keputusan yang diambil oleh sang tokoh utama kita, juga sebab-musabab yang menjadi akar permasalahan bagi segala konflik yang ada di dalam novel ini, adalah mempertahankan janinnya. Keputusan yang sangat, sangat baik menurut saya.

Dan saya tak pernah bermaksud untuk mengatakan bahwa aborsi itu tidak baik, pun sebaliknya. Hanya saja kita tak pernah tahu apakah yang kita ucapkan itu baik atau tidak untuk orang lain, bukan?

Untuk memperjelas maksud saya, boleh dilihat perumpamaan di bawah ini…

Abortion

Novel Love, Rosie ini mungkin bisa menjadi sebuah panduan hidup tersendiri bagi mereka yang tengah atau terlanjur mengalaminya. Sebab, di dalamnya berisi banyak sekali pandangan hidup sang tokoh utama terhadap keadaan yang harus dihadapinya dan juga nasihat-nasihat yang tak terkesan menggurui. Pun untuk sekedar melepas penat, novel ini adalah salah satu yang terbaik yang bisa saya rekomendasikan.

Sebelumnya, perkenankan saya menyampaikan rasa salut yang teramat sangat atas alih bahasa yang tak hanya tak bercela, namun juga mengalir dan amboi kerennya kepada Monica Dwi Chresnayani. Love, Rosie ini adalah novel hasil terjemahan Monica kedua yang pernah saya baca setelah novel all-American  Girl. Dan untuk kedua kalinya pula, saya dipuaskan. Salute!

Dikemas dengan gaya unik, kisah Rosie Dunne dan Alex Stewart disajikan dalam bentuk berupa kumpulan surat, kartu ucapan, print-out e-mail, print-out obrolan di chat room, faks, dan catatan-catatan kecil yang dibuat selama keduanya hidup. Hal ini tentu membawa angin segar bagi para pembaca yang terbiasa membaca novel berisi banyak paragraf deskripsi maupun narasi.

Penokohan yang diuraikan dengan sama uniknya ini terbukti berhasil melahirkan karakteristik para tokoh dengan kuat serta jelas. Karakter-karakternya begitu hidup, hingga terasa seperti membaca kumpulan surat yang benar-benar ada dan nyata, surat yang benar-benar dijadikan teman bagi tokoh utama, penggalan kisah hidup yang terangkum dalam kertas dan tinta.

“Dan aku duduk di sini, memikirkanmu.”

-Rosie (hlmn 239)

Rosie Dunne merupakan salah satu tokoh yang mampu mencuri hati saya dengan gaya berbicaranya yang penuh sarkasme. Dirinya digambarkan sebagai seorang ibu yang kuat, namun terkadang juga diimajikan sebagai sosok yang begitu rapuh. Keluh-kesah, kepenatan, juga kesedihan yang ia rasakan ketika menjadi seorang ibu di usia begitu muda, hingga harus membuang seluruh mimpi-mimpinya, disampaikan dengan begitu baik. Lelucon-lelucon yang ia lontarkan dalam surat-suratnya tak hanya membuat kedua bibir ini tersenyum simpul, namun juga mengundang gelak tawa membahana.

“Oh, yang benar saja! Kau malah senang sekali waktu akhirnya bercerai! Kau membeli sampanye paling mahal, kita minum sampai mabuk, pergi dugem, lalu kau mencium lelaki yang jeleknya minta ampun.”

-Rosie (hlmn 99)

Yang membuat saya kesal di novel ini adalah sosok Alex Stewart. Lelaki pintar namun bodoh dalam perkara rasa ini tak henti-henti membuat saya gemas setengah mati. Sikapnya yang effortless dan tidak peka tidak membuat hidup Rosie lebih baik. Kalau saja ia bertindak lebih cepat dan tanpa banyak berbasa-basi, mungkin tak membutuhkan lebih dari 600 halaman untuk mendapatkan akhir yang saya harapkan.

“Aku merasa sangat aneh waktu kau memunggungiku dan berjalan menyusuri lorong gereja bersama calon suamimu. Mungkinkah yang kurasakan itu cemburu?”

-Alex (hlmn 173)

Selain kedua tokoh utama di atas, Katie Dunne juga mendapat lampu sorot yang sempurna. Porsi kemunculannya begitu pas sebagai anak perempuan sang tokoh utama. Digambarkan sebagai Rosie generasi kedua, sifat yang dimiliki oleh Rosie menurun kepadanya. Nasibnya pun juga seperti itu. Katie hanya memiliki satu sahabat bernama Toby, persis seperti Rosie yang hanya punya Alex.

Katie adalah janin yang dulu dipertahankan oleh Rosie. Gadis kecil yang dulu sempat tak diinginkan olehnya, kini telah menjadi seluruh hidupnya. Katie telah menjadi semesta bagi ibunya, menjelma segala. Dan nantinya, ketika pertanyaan yang sama yang dipikirkan oleh ibunya terlontar dari kedua bibirnya, ia tak hanya menyelamatkan satu cinta, namun banyak cinta lainnya.

Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang nantinya hanya akan menjadi spoiler jika saya jabarkan satu-satu. Sebab, topik kehamilan yang tidak diinginkan yang dialami Rosie saja sudah bisa dibilang suatu kejahatan yang membuat saya patut meminta maaf kepada para pembaca review saya kali ini.

Namun para pembaca tenang saja. Kompleksitas jalan cerita yang dimiliki Love, Rosie ini aduhai kerennya. Dengan konflik, klimaks, dan post-klimaks yang beberapa kali berulang membuat saya yang membaca novel ini laksana menyusuri sebuah jalan cerita yang tak mengenal ujung. Lagi dan lagi saya dikagetkan dengan twist yang ada hingga menjadikan kisah Rosie dan Alex ini menjadi begitu menyenangkan dan tak tertebak.

Pendeskripsian latar yang tak terlalu njelimet dan penggunaan sudut pandang yang sederhana tak membuat rasa bingung hadir di kepala. Alur yang digunakan pun alur maju yang sama sederhananya walau terkesan melompat-lompat. Terang saja, perjalanan hidup Rosie Dunne semenjak berusia 5 hingga 50 dipampatkan hanya dalam 600 halaman.

Untuk perkara teknis, bisa dibilang novel Love, Rosie ini sempurna. Semua aspek disajikan dengan begitu apik dan ciamik. Sebut saja quotes-quotes yang biasanya jarang saya sertakan di review-review saya sebelumnya, tetapi kali ini bertebaran di merata pembaca.

Dan satu favorit saya:

“Seharusnya aku tidak membiarkan bibirmu meninggalkan bibirku sekian tahun lalu di Boston.”

-Alex (hlmn 201)

Dan atas segala pengalaman personal penuh kegembiraan yang saya dapatkan usai membaca novel ini, saya dengan senang hati memberikan…

Bintang 5

 “Hari ini aku mencintaimu lebih dari yang sudah-sudah; besok cintaku padamu akan lebih besar lagi.”

Review : Critical Eleven

8

Critical Eleven

Critical Eleven

Penulis: Ika Natassa

Desain sampul: Ika Natassa

Editor: Rosi L. Simamora

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 978-602-03-1892-9

Cetakan: X (Februari 2016)

Jumlah halaman: 344 hlmn

*

šBLURB›

Dalam dunia penerbangan, dikenal dengan istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada suatu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.

*

Sungguh sangat merisaukan hati ketika melihat goodreads’ review tentang Critical Eleven ini yang, yah… ada beberapa yang sepertinya tidak mempunyai etika dalam me-review. Mungkin beliau-beliau ini tidak pernah membaca ‘Cara Me-review Yang Baik’ oleh Mbae Evi Sri Rejeki atau Mbae Peri Hutan.

Well, setelah saya mengeluhkesahkan hal ini di twitter dan dengan sengaja mencolek sang penulis langsung, Mbae Ika, her answer is such a relieving.

“Tidak apa-apa. Menikmati karya itu pengalaman personal, dan cara masing-masing orang berbagi pengalaman personal itu berbeda-beda :p :p

Paling tidak dia sudah menghargai dengan membeli bukunya, daripada cari bajakan.”

Begitulah.

Dan jika penulisnya sendiri selow, lha mbok saya nggak perlu ceriwis-ceriwis lagi tho? Ehe.

Uh, oh! Kalau begitu saya harap review saya kali ini semoga menjadi ajang berbagi pengalaman personal yang bukan hanya tidak menyakiti sesiapa, juga mencerahkan.

#walauakubukannabiakuinginmencerahkan #meesterzenauntukDKI2017 #bodoamat

Berkisah tentang Ale dan Anya yang pisah ranjang setelah empat tahun menjalani biduk rumah tangga. Penyebabnya adalah suatu tragedi besar yang menyakiti hati keduanya. Tak ada yang salah sebenarnya. Menyalahkan Tuhan pun percuma. Bukankah kitab-kitab itu menyatakan kalau Tuhan Maha Benar Atas Segala?

Untuk menghadapi tragedi tersebut, keduanya memilih untuk merayakannya dengan cara masing-masing. Dalam diam, dalam tangis, dalam benci, dalam rindu yang terbantahkan, dalam doa yang tak usai-usai terujar, dalam gumul tubuh setelah dahaga satu kemarau.

Ale hampir putus asa. Segala cara telah ia lakukan agar Anya tetap di sisinya. Berhasil, namun Anya yang tinggal adalah Anya yang berbeda. Yang pasif, yang menganggapnya ada namun tiada, yang masih memakai cincin perkawinannya namun tak lagi sudi seranjang.

Lalu, apa yang harus Ale lakukan ketika suatu hari ia pulang dengan post-it tertempel di pintu lemari Anya yang sudah setengah kosong?

#OOOWWW

Ucet-ucet-uceeet!!! Critical Eleven really, really broke my heart : (

Ika Natassa mampu membuat saya cekikikan macam perawan, trenyuh, dan meneteskan air mata ketika membaca buku yang spektakuler ini. Critical Eleven adalah buku ketiga Mbae Ika yang saya baca setelah Divortiare (yang bacanya dulu waktu saya masih SMP) dan Antologi Rasa.

Dengan sudut pandang yang berganti-ganti antara Anya dan Ale, juga cara penulisan berbeda yang digunakan atas keduanya, membuat saya tak kesulitan mengikuti isi pikiran mereka. Anya yang ber-aku dan Ale yang ber-gue sama sekali tak membuat saya pusing ataupun siwer (mengutip kosakata kenalan saya yang kapok setelah membaca Antologi Rasa. Katanya, “Too good to be true. LOL. Man, puhlease.)

Untuk kamu yang sama sekali buta bahasa Inggris, saya tak merekomendasikan buku ini. Kecuali kamu memiliki kamus bahasa Inggris, atau yang lebih canggih, Google Translate, untuk menerjemahkan beberapa penggalan kalimat bahasa Inggris yang tak difasilitasi footnote.

Dan bagi saya sendiri, novel dengan dwibahasa seperti ini selain menambah khazanah pengetahuan, juga memiliki sensasi tersendiri yang sulit saya jabarkan. Mewah, lux, berkelas, entahlah. Sulit. Dan saya tidak bermaksud meremehkan mereka yang seketika menolak membaca buku ini hanya karena matanya siwer oleh banyaknya kalimat-kalimat italic di dalamnya. Sungguh.

Sedari awal pun saya sudah jelaskan kalau saya hanya ingin berbagi tentang pengalaman personal saya.

Ehe.

Jika saja saya wanita, maka saya tanpa perlu bermalu-malu, tanpa perlu berpikir dua kali, tanpa perlu bertendensi apa pun, akan menyatakan kalau saya jatuh cinta dengan Aldebaran Risjad.

Sangat-sangat jatuh cinta.

Cara Ika membuat Ale mendeskripsikan cintanya kepada Anya, begitu… begitu… manis.

Tak ada yang tak akan jatuh cinta kepada Ale. Jamin.

Pun begitu dengan Tanya Laetitia Baskoro (well, jadi ngerti susahnya usaha Ale menghafal nama tengah Anya sebelum ijab). Merasakan perasaan Anya ketika menjabarkan betapa dia rindu setengah mati, juga benci setengah mati kepada Ale membuat saya bingung sendiri. Plis deh, Nya! Sebegitu susahnya kah?

: (

Kalau kamu sempat bingung di awal-awal membaca buku ini, maka kamu tidak sendiri. Namun percayalah, puzzle-puzzle kebingunganmu itu satu-satu akan terpecahkan, dan membuat kamu merasa takjub karena telah membaca novel yang aduhai kerennya ini.

Dan kalau sampai di sini kamu masih ragu buat membacanya, maka saya merasa gagal sebagai reviewer. Plis atuhlaaah! Buku bagus banget ieu teh : (

Saya suka kovernya, flashback-nya, konsepnya, jalan ceritanya, temanya, karakternya. Saya suka Si Jeki, Risjad’s Family, naskah yang typo-nya nihil, filsafat-filsafatnya, Jakarta, konfliknya. Saya suka ibu-ibu di commuterline, abang-abang fotokopi, mbak-mbak Frank and Co., Nino, ketoprak Ciragil.

Saya suka semuanya.

Semuanya.

And because of that, this book deserves these stars…

Bintang 5

Saya menunggu buku Mbae Ika selanjutnya! xoxo

Review : Tiger On My Bed

4

Tiger On My Bed

Tiger On My Bed

Penulis : Christian Simamora

Editor : Dini Saraswati

Designer Sampul : Dwi Anissa Anindhika

Penata Letak : Gita Mariana

Ilustrasi Isi : Mailoor

Penerbit : TWIGORA

ISBN : 978-602-70362-4-6e

Cetakan : I (Desember, 2015)

Jumlah Halaman : 396 hlmn

*

šBLURB›

“UNTUK MENARIK PERHATIAN LAWAN JENISNYA, HARIMAU BETINA BISA MERAUNG SAMPAI 69 KALI SELAMA 15 MENIT.”

Jai harus mengakui, Talita Koum Vimana membuatnya sangat penasaran. Dia duduk di pangkuan Jai, membuainya dengan suara tawanya, dan bahkan tanpa ragu mengkritik kemampuannya merayu lawan jenis. Hebatnya lagi, semuanya terjadi bahkan sebelum Jai resmi berkenalan dengan Tal.

“SELAYAKNYA TARIAN, HARIMAU JANTAN DAN BETINA MELAKUKAN MELAKUKAN KONTAK FISIK SATU SAMA LAIN, DISERTAI SUARA RAUNGAN DAN GERAMAN.”

Jujur saja, alasan utama Tal mendekati Jai justru karena dia sama sekali bukan tipe idealnya. Dia dipilih karena alasan shallow: indah dilihat mata, asyik diajak make out. Jenis yang bisa dengan gampang ditinggalkan tanpa harus merasa bersalah.

“TAHUKAH KAMU, SETELAH PROSES KAWIN SELESAI, HARIMAU JANTAN SELALU MENINGGALKAN BETINANYA?”

Tiger arrangement, begitu keduanya menyebut hubungan mereka. Dan ketika salah satu pihak terpikir untuk berhenti, pihak lain tak boleh merasa keberatan. Jai dan Tal menikmati sekali hubungan kasual ini. Tak ada tanggung jawab, tak ada penyesalan… sampai salah satu dari mereka jatuh cinta.”

*

“Sebelum benar-benar patah hati, kau tak akan pernah menyadari seperti apa kau ingin dicintai.”

Diawali dengan kandasnya pertunangan Talita dan Rizal karena orang ketiga yang juga adalah wedding organizer mereka. Tal yang masih belum bisa sepenuhnya move on dipaksa oleh teman-temannya, Yana dan Fika, untuk mencari seorang rebound. Rebound yang dimaksud adalah partner seks semata, tanpa ada perasaan yang tersangkut paut, murni demi pemuasan berahi.

Bahasa kerennya No String Attached.

Jai, yang resmi dijadikan target rebound Tal pada suatu malam, awalnya menolak untuk mengiyakan tawaran Tal membuat Tiger Arrangement. Terinspirasi dari perilaku harimau jantan yang langsung meninggalkan betina setelah proses kawin. No muss, no fuss.

Namun, Jai Birksted akhirnya menerima juga untuk ikut serta ke dalam permainan Talita Koum Vimana, walau ia tahu segala aksi pasti berbalik reaksi. Akan ada konsekuensi di setiap keputusan yang ia buat. Dan selalu ada kemungkinan sakit yang teramat sangat itu akan ia rasakan kembali.

Pada awalnya semua berjalan lancar. Baik Tal maupun Jai sama-sama menikmati kebersamaan mereka. Namun, entah bagaimana, salah satu harimau tiba-tiba ingin menjadi buaya.

Akankah salah satu dari mereka sanggup merisikokan semua yang ada demi kesempatan untuk melipatgandakannya? Atau apakah karena mereka berdua memiliki keinginan berbeda maka perjanjian itu akan diusaikan dan lalu melahirkan perpisahan?

“Dia tak akan rindu hanya karena kehilangamu. Dia baru merindu saat kau benar-benar melupakannya.”

Ataukah sang mantan nu mirip kulincir Rudi Kawilarang akan kembali ke pelukanku dan membebaskan hati ini dari jerat rindu yang tak berkesudahan akibat bahamna nu bau ohmaigod siga kelek Aurel?

#ayojawabkumahasia

Dari awal membaca buku ini, bahkan sebelum berkenalan dengan Talita Koum Vimana, saya sudah dibuat jatuh cinta. Begitu banyak printilan yang disuguhkan Bang Chris dengan konsep unik dan lain daripada yang lain.

Bayangkan, prolog dibuat tepat di lembar pertama, baru diikuti dengan identitas buku, lalu tanda tangan Bang Chris sendiri lengkap dengan PUPUNEWE CIWIKEKE, tagline khasnya yang meski sudah saya google, tetap nggak ketemu artinya. Kemudian ada trivia, quote-quote dan word of the day di setiap bab baru lengkap dengan ilustrasinya yang aseli keren!

Kovernya sendiri terbilang khas Bang Chris banget. Penuh dengan sentuhan-sentuhan lux dan glam-nya. Sangat matching dengan isi buku yang sedikit-banyak bertebaran merek-merek yang saya tak mengerti. Ehe. Kumahpatuh, cuma butiran beleq : (

Walaupun begitu, ‘butiran beleq’ yang sok tahu ini telah menemukan sesuatu yang menarik untuk di bahas, yaitu penokohannya. Setelah dua kali pernah mengkritik cara penokohan dua penulis berbeda (lihat review saya sebelumnya), pada novel karya Bang Chris ini saya sama sekali tak menemukan kekurangan. Semuanya PERFECT!

Karakteristik Tal dan masa lalunya mempunyai andil besar di dalam cerita. Pun karakteristik Jai juga masa lalunya. Tidak ada yang sia-sia, ataupun hanya dijadikan selingan. Ini bukti kalau penulis telah melakukan riset yang cukup baik dan mempunyai konsep karakter yang mumpuni.

Tokoh-tokoh pendamping pun mempunyai role-nya masing-masing. Sekali lagi tidak ada yang hanya menjadi selingan. Yana dan Fika yang merefleksikan makna sahabat begitu terperinci namun tak berlebihan. Kakak Jai dan juga ayah Tal yang walaupun hanya muncul sesekali namun membawa impact yang cukup pada kisah masing-masing dari mereka. Intinya mah, Bang Chris sukses besar di dalam novel ini. Its sucha goodah job!!!

Tema yang diangkat juga tak biasa. Well, sebenarnya saya pernah menonton film ‘The Awkward Moment’ yang juga punya jalan cerita yang mirip, walau tentu tidak semuanya. Meskipun begitu, ide cerita no string attached ini bisa dibilang tidak biasa.

Alur maju-mundur cantique yang digunakan oleh Bang Chris sangatlah sukses. Apalagi saat flashback scenes, beliau menggunakan font style yang berbeda. Memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi mana yang kilas balik ataupun yang tengah terjadi. Well, bagi saya pribadi bikin pusing ketika membacanya. Ehe. Soalnya font berbeda itu agak nganu.

Tokoh, check. Tema, check. Alur, check. Yang tersisa hanya latar dan sudut pandang yang tak perlu dikomentarin karena udah tak bercela. Bagus! Ehe.

Ah, iya! Karena Bang Chris mempunyai trivia tentang ‘Tiger On My Bed’, saya jadi terinspirasi untuk membuat Trivia About Tiger On My Bed’s Review, ceqdisawt!

  1. Saya paling suka bagian di thanks to yang “I love you with all my but. I want to say my heart, but my butt is bigger.” LOOOL
  2. Saya jadi belajar banyak kosakata baru, for example: ngewer-ngewer, hyphenate, eye fucking dan masih banyak lagi.
  3. Awalnya saya kira dua harimau yang saling berhadapan di setiap akhir cerita itu beha.
  4. Di halaman 77, yang benar itu ‘DSLR’, bukan ‘DLSR’
  5. Di halaman 81, ‘padatema’ seharusnya ‘pada tema’
  6. Di halaman 94, “Talmenariknapasdalam-dalam,lalumengembuskannya’ itu entah karena kesalahan teknis, atau memang lupa dikasih spasi (yang terakhir kayaknya nggak mungkin deh untuk penulis sekaliber Bang Chris) jadi terasa agak mengganggu.
  7. Di halaman 146 ada kekurangan dalam penggunaan tanda kutip tepat sebelum kalimat ‘G-gue harus…’
  8. Masih di halaman 146, yang benar ‘make out’, bukan ‘makeout’
  9. Saya baru tahu kalau pemadat itu sinonim pemakai heroin, ehe.
  10. Di halaman 187, yang benar ‘foreplay’ bukan ‘roreplay’.
  11. Who gives a damn about typo? When you disuguhkeun cerita cinta macam Tal dan Jai, itu semua bagai butiran-butiran belek dalam arti harfiah. Ehe. Once again, good job Bang!!!

Honestly, membaca buku ini seperti membaca hot-nya buku Jakarta Undercover 1 & 2. Dan tentu saja tanpa merasa bosan, karena dibuat ‘tegang’ selalu. Ehe. Genre ini pernah saya baca di ‘Viscount Who Loved Me karya Julia Quinn’, dan Bang Chris did it even better! Whoa!

Dengan beberapa kali adegan seks yang uhlala, saya menyadari kalau diksi dan penggambaran yang dilakukan oleh Bang Chris itu dirty but clean. And indeed, clean but dirty.

And because of all the majestic things above, THIS BOOK DESERVE THESE STARS!

#OOOWWW

Bintang 4

Can’t wait for your next book, Bang!

Review : The Chef

0

The Chef

The Chef – “Secarik resep kenangan yang hilang.”

Penulis : Hanna Enka

Editor : Ainini

Penata Isi : Violet V

Desain Kover : Ann_Retiree

Tebal : 288 hlmn

ISBN : 978-602-255-689-3

Penerbit : MAZOLA, 2015

***

“Apa kau baik-baik saja?”

“Apa yang kau lakukan sendirian di sini?”

“Sepertinya perasaanmu sedang tidak baik.”

“Jangan bersedih. Segala sesuatunya di dunia ini bisa datang dan pergi sesuka hati. Terkadang kita harus merelakan. Karena tidak ada yang abadi. Manusia tidak boleh hidup dalam kelam. Mereka harus melangkah maju, mencari arah cahaya yang mampu menopang mereka kembali melihat dunia.”

“Kau lihat langit itu, bukan? Cerah. Jadi, semangatlah! Seperti langit. Jangan membuatnya berawan, apalagi mendung.”

Feba tak mengeluarkan sepatah kata pun sampai lelaki itu berdiri dari tempatnya duduk, menepuk pelan pundaknya seolah memberikan pesan, Semua akan baik-baik saja, lalu berlalu bersama angin musim semi.

***

  • Kesan yang Zen harapkan saat ingin membaca buku ini.

Kesan, ya? Kesan? Hmmm… Setelah melihat kover novel tersebut yang ada dipikiran Zen yaitu: “Wah, another cooking stories! Kira-kira lebih bagus ‘gak ya daripada novel Resep Cinta dan Resep Cherry-nya Primadona Angela.” Dan, voila, langsung pusing di halaman pertama. Ehe.

  • Kesan yang Zen dapatkan setelah membaca buku ini.

Kesan, ya? Kesan? Hmmm… Setelah melahap habis bab demi bab, sampailah Zen pada keputusan hati: “Wah… Qrend ntap banget ini novel. Bahasanya mengalir begitu saja. Hanyut-hanyut enak. Coba daku bisa bikin novel sehebat ini.”

Samar-samar novel ini mengingatkan Zen tentang cerita sebuah komik Jepang, dan ketika sampai pada klimaksnya, kecurigaan Zen terbukti benar. The Kitchen Princess mungkin menjadi sumber inspirasi Mbae Hanna Enka untuk menulis novel ini.

Menurut Zen, novel ini memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya yaitu ada beberapa kalimat yang harus bisa dibaca dengan satu tarikan napas. Contohnya, “Feba merasa masa lalunya seolah-olah kembali berjalan menghampiri begitu ia menginjakkan kaki di Bandara Internasional Miami setelah memakan waktu sekitar dua puluh enam jam dari Bandara Soekarno Hatta.”

Bukankah bisa dipersingkat dengan, “Feba merasa masa lalunya kembali menghampiri, tepat ketika kakinya menginjak Bandara Internasional Miami setelah dua puluh enam jam mengangkasa dari Bandara Soekarnoe Hatta.”

Ya, ‘kan?

  • Intisari dari buku ini adalah…

Tentang seorang Feba—mahasiswi jurusan kuliner di salah satu universitas di Miami, Amerika Serikat—yang kembali ke Miami untuk meniti karir sekaligus mencari “Pangeran Puding” setelah lima tahun di Indonesia. “Pangeran Puding” adalah lelaki yang pernah satu jurusan dengannya dulu di bangku universitas.

Banyak hal manis, menggigit serta berwarna-warni persis Rainbow Soda kreasinya yang ia alami di bawah langit Miami. Kebaikan hati, perjuangan untuk mendapatkan cinta sang pangeran, kebimbangan, hadirnya cinta yang lain, pedihnya kompetisi, serta perihnya jiwa ketika mengetahui orang yang paling ia sayangi kini berada di ambang hidup dan mati mampu dikemas dengan apik di dalam novel ini.

  • Tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam buku ini beserta karakternya yaitu sebagai berikut :
    • Feba, gadis keturunan Indonesia-Prancis yang berhati baik dan tidak mengenal kata menyerah.
    • Demian, pemuda berdarah Inggris yang mampu membuat Feba menangis. Kebaikan hatinya sering tertutupi oleh gengsi. Ehe.
    • Rein, kakaknya Demian. Matanya yang berwarna pirus sangat mirip dengan ciri-ciri “Pangeran Puding” yang Feba ingat. Mungkinkah…?
    • Sienna, model yang juga teman sejak kecil Demian dan Rein. Ia membenci Feba teramat sangat karena Feba menyukai salah satu dari teman masa kecilnya.
    • Jane, teman satu hotel Feba yang juga seorang fashion designer. Baik hati dan usil, selalu mengolok-olok Feba tentang “Pangeran Puding”-nya.
    • Henry dan Ody sebagai bos dan partner Feba. Henry yang kebapakan dan Ody yang sudah Feba anggap saudara lelakinya sendiri telah banyak membantu Feba di Miami.
    • Nenek Sarah, orang yang mengasuh Feba sejak orang tuanya meninggal. Mencintai Feba seperti mencintai anaknya sendiri. Nenek Sarah juga pengelola sebuah panti asuhan bernama Serumia.
  • Alur ceritanya…

Maju mundur. Maju mundur cantik ulala kamu sih julit maksimal makanya Allah murka. Hestekapasih.

  • Ending-nya…

Happy ending, yay! Emang novel-novel happy ending itu kayak ada manis-manisnya gitu.

  • Manfaat yang Zen peroleh…

Alhamdulillah jadi lebih tahu Miami seperti apa, kayak bagaimana. Alhamdulillah cita-cita jadi chef makin membara, merona, mengangkasa. Alhamdulillah keinginan untuk berkarya makin kuat. Alhamdulillah.

  • Kalau Zen bertemu dengan sang penulis…

Ingin mastiin aja, bener ‘gak sih novelnya terinpirasi sama komik yang udah diberi tahu di atas. Mastiin good. Ehe.

Sukses terus buat Mbae-nya!

  • Rating

Bintang 2

Selamat atas dua bintangnya : )))))

  • Perjuangan

Untuk mendapatkan novel ini Zen harus mengikuti kuis yang diadakan oleh Penerbit Divapress. Ehe. Alhamdulillah gratisan. Terima kasih Divapress.