Review : Ready or Not

2

Ready Or Not

Ready or Not – —Siap atau Tidak—

Penulis: Meg Cabot

Alih bahasa: Alexandra Karina

Desain dan ilustrasi sampul: http://www.kittyfelicia.com

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 979-22-1783-5

Cetakan: II (April 2006)

Jumlah halaman: 264 hlmn

*

šBLURB›

SEPULUH HAL UTAMA YANG BELUM SIAP DIHADAPI SAMANTHA MADISON:

  • Menghabiskan Thanksgiving di Camp David
  • Dengan pacarnya, putra Presiden
  • Yang tampaknya ingin membawa hubungan mereka ke Level Berikutnya
  • Sesuatu yang dengan tanpa sengaja Sam umumkan pada siaran langsung di MTV
  • Saat seharusnya dia mendukung kebijakan Presiden tentang keutuhan keluarga, moral, dan ya, seks.
  • Juga, menyeimbangkan pekerjaan usai sekolah barunya di Potomac Video
  • Meskipun dia sudah mempunyai pekerjaan sebagai duta remaja untuk PBB (tapi tidak dibayar untuk itu)
  • Menaiki Metro dan dikenali karena dia “cewek berambut merah yang menyelamatkan nyawa Presiden”, meskipun sudah mewarnai rambutnya menjadi Midnight Ebony setengah permanen
  • Mengalami pertukaran peran besar-besaran dengan kakaknya yang populer, Lucy, yang sekali ini tidak bisa mendapatkan cowok yang diinginkannya

Dan hal nomor satu yang belum siap dihadapi Sam?

  • Mengetahui di kelas menggambar, “life drawing” berarti “menggambar model telanjang”.

*

“Tidakkah kalian melihatnya? Tidakkah kalian mengerti? Cara menguatkan keluarga-keluarga bukan dengan menghancurkan hak-hak salah satu anggota, dan memberikan lebih banyak hak pada anggota yang lain. Ini bukan tentang BAGIAN-BAGIAN. Ini tentang KESELURUHANNYA. Harus SAMA RATA. Keluarga seperti… seperti rumah. Harus ada fondasi dulu sebelum kau bisa mulai mendekorasinya.”

-Samantha Madison (hlmn 193)

Jika ada seseorang yang kerap menggembar-gemborkan tentang betapa indahnya masa-masa remaja, maka bisa dipastikan orang itu belum pernah membaca buku-buku karangan Meg Cabot yang berjudul all-American Girl dan Ready or Not. Sama halnya dengan Chrismansyah Rahadi yang kelihatannya belum pernah berkenalan dengan Samantha Madison. Sebab, kalau almarhum sempat berkenalan dengannya, maka lagu Kisah Kasih Di Sekolah sepatutnya tidak akan pernah ada. Kenapa? Karena dunia remaja tak melulu sepicisan itu. Apalagi dunia Sam yang penuh dengan masalah-masalah remajanya yang khas.

Bercerita tentang Samantha Madison yang bingung berat atas ajakan David—pacarnya yang juga putra Presiden Amerika—untuk bersama-sama menghabiskan akhir pekan Thanksgiving di Camp David bersama dengan Pak Presiden dan istrinya. Bukan karena ke mana atau dengan siapanya, tapi tentang apa yang akan mereka berdua lakukan di sana. Apalagi David mengimplisitkan tujuannya yang sebenar-benarnya ketika mengajak Sam untuk ber-parcheesi ria, yang Sam artikan sebagai ajakan, mm… kau tahu…

Melakukan Itu.

Undangan David ini sungguh sangat tidak melegakan, apalagi Sam baru saja melihat kau-tahu-apa pertamanya beberapa jam sebelumnya di kelas menggambar “life drawing” di Susan Boone Art Studio. “Life drawing” yang berarti “menggambar model telanjang”.

Kecemasan ini semakin menjadi-jadi ketika ia mengingat bahwa ia telah gagal besar dalam pelajaran “life drawing” pertamanya. Ia sama sekali tak mengerti ocehan Susan tentang ia yang harusnya berhenti berkonsentrasi begitu keras pada bagian-bagiannya. Dan sebaliknya, mulai melihat gambarnya sebagai kesatuan. Maksudnya, bagaimana ia bahkan bisa berkonsentrasi pada hal-hal seperti itu, kalau dalam beberapa hari kedepan keperawanannya akan hilang di salah satu kamar di Camp David?

Belum lagi tentang kakaknya yang populer, Lucy, yang akhirnya putus dengan pacarnya dan kini tengah mengejar-ngejar—sangat aneh bagi Sam untuk mengatakannya—cowok yang sama sekali tidak populer.

Pun ada Kris Parks, teman masa kecil Sam yang kini telah menyeberang ke dunia hitam dan menjadi musuhnya di John Adams Preparatory Academy, dan teman-teman Right Way-nya yang acap kali mengatai Debra Mullins hanya karena selentingan tentang Debra yang Melakukan Itu bersama pacarnya di bawah tempat duduk stadion.

Dan bagian mana dari itu semua yang menggambarkan betapa ‘tiada masa paling indah/masa-masa disekolah’?

Satu lagi buku Meg Cabot yang membuat saya ketagihan untuk membacanya berulang-ulang. Buku yang menjadi sekuel dari buku all-American Girl ini (baca review-nya di sini) telah mendapatkan berbagai penghargaan seperti Publisher Weekly dan USA Today Best Seller. Juga tak ketinggalan dipilih oleh New York Public Library sebagai “Book for the Teen Age” di tahun 2006.

Dan bukan sesuatu yang mengherankan, mengingat kepiawaian Meg Cabot meramu pelbagai hal untuk menciptakan sebuah karya yang amat bagus macam Ready or Not ini.

Disuguhkan dengan karakteristik Sam yang complicated—seperti Sam yang ingin melawan paradigma yang ada di lingkungannya namun juga takut untuk melawannya, pengidap social anxiety disorder namun bersikeras mempertahankan cara berpikirnya yang unik, pemberani namun sekaligus penakut, dan lain sebagainya—membuat saya tak bosan-bosan menikmati konflik demi konflik yang dijabarkan dengan begitu apik oleh penulis. Meskipun sebagian besar konflik tersebut hanya terjadi di dalam kepala tokoh utama, namun hal itu membawa lebih banyak keseruan, ketegangan dan kelucuan dibanding jika diceritakan melalui sudut pandang orang ketiga.

Sam yang menolak untuk berpakaian Abercrombie & Fitch dari atas ke bawah dan lebih memilih berpakaian hitam-hitam demi rasa belasungkawa terhadap generasinya yang memprihatinkan—yang hanya peduli tentang apa yang terjadi di American Idol minggu ini juga siapa yang memakai apa di pestanya siapa—merupakan sosok yang patut diacungi jempol atas derasnya arus keapatisan yang melanda remaja Amerika.

Yang kini juga tengah dialami oleh remaja-remaja di Indonesia yang lebih peduli tentang si itu yang memposting anu ke media sosial ini. Atau lebih parahnya lagi, siapa yang menyerahkan keperawanannya kepada siapa. Padahal ada lebih banyak hal mendesak lain untuk dipikirkan seperti hampir 52% populasi penyu telah menelan sampah plastik yang dikiranya ubur-ubur daripada mengurusi keperawanan orang lain.

Selain Sam yang mampu mencuri hati saya, Lucy Madison yang telah mendapatkan porsi lebih banyak untuk tampil di buku ini juga membuat saya menaruh perhatian padanya. Seakan ingin mempertegas peribahasa ‘tak ada gading yang tak retak’, Lucy yang digambarkan oleh penulis di buku sebelumnya sebagai cewek yang sempurna—cantik, populer, mempunyai pacar tampan yang sempat ditaksir Sam mati-matian—kini harus rela putus dari pacarnya, Jack, dan gagal di ujian SAT-nya.

Itu saja, menurut Sam, sudah merupakan indikasi atas menurunnya superioritas kualitas hidup Lucy. Belum lagi perkara tentang Lucy yang menyukai tutor SAT-nya, namun, tak seperti cowok-cowok pada umumnya, tutornya itu tidak menyukainya balik. Menyukai namun tak disukai balik adalah hal yang teramat sangat jarang, bahkan hanya terjadi sekali sepanjang eksistensinya.

Dan perjuangan Lucy untuk meyakinkan tutornya kalau ia itu bukanlah kebalikan dari sosok Hellboy, yang buruk rupa di luar namun baik hati di dalam, amat sangat menghibur.

Selain tokoh-tokoh protagonis di atas, tokoh antagonis seperti Kris Parks dan konco-konconya di kelompok Right Way juga menyumbang konflik yang teramat besar. Hipokrisi yang gila-gilaan, bullying, dan kesoksucian kaum-kaum yang harusnya benar-benar suci disajikan seperti sinisme atas keadaan yang dialami banyak remaja Post-Modern.

Yang paling menarik dan paling mencerahkan di buku ini adalah tentang betapa tidak bergunanya program Just Say No pada seks bebas dan obat-obatan terlarang. Karena yang diajarkan dalam program tersebut hanyalah Just Say No. Bukan ‘Inilah apa yang kaulakukan kalau-kalau say no tidak berhasil untukmu’. Di negara-negara tempat para orang dewasa terbuka dengan anak-anaknya tentang seks dan KB, dan para remaja diajarkan tak ada yang memalukan atau apa pun tentangnya, tingkat kehamilan yang tidak diinginkan juga penyakit menular seksual justru paling rendah.

Namun, entah kenapa fakta-fakta tersebut, juga ucapan Sam di tengah siaran langsung MTV, membuat Pak Presiden menjadi sangat murka. Akankah Sam kehilangan pekerjaannya sebagai Duta Remaja untuk PBB? Dan bagaimana tentang kesiapan Sam untuk menerima—atau menolak—ajakan David untuk ber-parcheesi?

It’s such a highly recommended book. Dan dengan semua hal-hal itu, kesalahan teknis seperti tanda kutip yang kurang setelah kata Ebony di halaman 34 dan setelah kata gila di halaman 118, juga penggunaan tanda tanya di akhir kalimat yang kurang saya mengerti fungsinya di halaman 123, 222 dan 224, menjadi tidak terlalu penting lagi. Namun saya tetap menganjurkan adanya proses penyuntingan untuk cetakan selanjutnya demi terciptanya kesempurnaan.

Dan karena itu semua, buku ini pantas mendapatkan rating sebanyak…

Bintang 4

Yay!

Kemudian coba beritahu saya di kolom komentar, hal-hal apa sih yang paling kalian ingat di masa remaja kalian?

Review : all-American girl

2

All-American Girl

all-American girl – —Pahlawan Amerika—

Penulis: Meg Cabot

Alih bahasa: Monica Dwi Chresnayani

Desain dan ilustrasi sampul: Kitty

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 979-22-0982-4

Cetakan: III (Mei 2005)

Jumlah halaman: 328 hlmn

*

šBLURB›

Sepuluh alasan Samantha Madison bingung berat:

  • Kakaknya cewek paling gaul di sekolah.
  • Adiknya cewek paling cerdas di sekolah.
  • Dia naksir pacar kakaknya.
  • Dia tertangkap basah menjual gambar selebritis yang dibuatnya di sekolah.
  • Dan karena itu dia terpaksa ikut les menggambar.
  • Dia menyelamatkan Presiden Amerika Serikat dari percobaan pembunuhan.
  • Dan karena itu seluruh dunia menganggapnya pahlawan.
  • Padahal Samantha tahu pasti dia sama sekali bukan pahlawan.
  • Sekarang dia ditunjuk jadi duta remaja untuk PBB.

Dan alasan nomor satu kenapa Samantha bingung berat:

  • Kayaknya putra presiden naksir dirinya

*

“Kau memang mendengar kata-katanya, tapi tidak mendengarkan. Ada perbedaan antara mendengar dan mendengarkan, sama halnya seperti melihat dan mengetahui.”

-Susan Boone (hlmn 295)

Actually, sudah kesekian kalinya (tujuh atau delapan atau lebih? entah) saya menamatkan novel karangan Mbae Meg yang bergenre teenlit ini. Dan tujuan saya membaca ulang, selain untuk menyegarkan pikiran, juga sebagai bahan referensi dalam proyek novel yang saya dan partner saya, Terdevan, kerjakan sejak awal Maret ini. B-but, sadly, it didn’t work. And i felt like i still have to complete it first, tho. So here i am, bringing you my review about this coolest book ever. Yasss!!!

Berkisah tentang Samantha Madison—anak tengah, kidal, yang merasa apatis terhadap generasinya sendiri, tukang pilih-pilih makanan, culun, penyuka ska dan murid paling dibenci di SMU—yang jatuh cinta kepada Jack Ryder, pacar kakak kandungnya sendiri, Lucy Madison.

Samantha yakin kalau Jack adalah belahan jiwanya—ia bahkan mampu menyebutkan ‘10 alasan mengapa Samantha lebih pantas menjadi cewek Jack dibanding kakaknya, Lucy’. Samantha juga yakin kalau tiap-tiap yang dilakukan Jack—mulai dari menembaki laboratorium ayahnya yang digunakan untuk mengujicobakan obat-obatan, berenang telanjang pada malam hari karena peraturan tentang baju renang yang terlalu ketat, hingga seringnya selisih paham antara Jack dan kepala sekolah—adalah suatu tindakan radikal yang menurutnya benar dan pantas untuk didukung. Karena dia tahu, orang-orang seperti Jack dan dirinya sendiri, yang tidak hanya tertarik pada video apa yang menduduki puncak tangga lagu sekarang ini, memiliki keprihatinan terhadap apa-apa yang terjadi di negara yang mereka cintai ini.

Namun semua berubah ketika negara api menyerang.

Lame joke, huh? Ehe.

Namun semua berubah ketika Sam ketahuan menjual gambar-gambar selebritis saat pelajaran bahasa Jerman. Mr. dan Mrs. Madison marah besar ketika tahu hal ini. Dan esoknya, tanpa persetujuan yang bersangkutan, Samantha diwajibkan ikut kursus menggambar di Susan Boone Art Studio dua kali seminggu, masing-masing selama dua jam.

Sam yang merasa sebal kepada Susan karena ocehannya tentang ‘menggambar apa yang kaulihat, bukan yang kauketahui’, memutuskan untuk memberontak pada jadwal kursus selanjutnya, seperti yang Jack anjurkan, karena merasa telah dipermalukan pada pertemuan pertama mereka.

Pertemuan pertama yang juga terasa manis antara Sam dan David, cowok keren yang satu kelas dengannya.

Namun ketika Sam membolos, sebagai upaya pemberontakan terhadap Susan Boone sang diktator seni, ia berakhir dengan menyelamatkan nyawa Presiden Amerika Serikat dari percobaan pembunuhan oleh maniak lagu Uptown Girl di depan toko kue Capitol Cookie yang seketika membuat hidupnya berubah total.

Apakah Sam mampu mendapatkan hati Jack?

Lalu apakah makna atas senyuman David yang misterius?

Dan bagaimana ia tetap bertahan hidup setelah begitu banyak hal yang berubah di dalam hidupnya?

Saksikan episode Uttaran berikutnya!

#WOOO!!! Walaupun sudah berkali-kali membaca novel Mbae Meg ini, namun tak secuil pun bosan terasa di dalam sukma renjana. Karena gimana, ya? Menurut saya membaca sebuah novel berulang kali itu mempunyai sensasi tersendiri. Hal-hal yang luput saat membaca untuk pertama kalinya, ditemukan saat baca ulang kedua kali, dan begitu seterusnya.

Dan bukankah menyenangkan, mengetahui ada beberapa hal yang tak akan pernah berubah di dalam hidup ini?

Ehe.

Sebelumnya, berikan saya waktu dan kesempatan untuk melayangkan standing ovation kepada Mbae Monica sebagai alih bahasa (yang saya asumsikan jua sebagai editor) yang mampu men-translate-kan seluruh isi buku dengan… duh, gimana ya jelasinnya. Kalau cuma emejing, keren atau apalah, kok kayak melecehkan.

Karena hasil translate-nya, jauh dari sekadar bagus.

Amazingly wonderful!

Nggak ngerti lagi belajar dari mana mbaknya.

Dan mungkin standing ovation yang lebih gempita untuk sang penulis sendiri, Mbae Meg, yang mengantarkan saya ke dalam dunia Sam yang lebih dari sekadar amazingly wonderful!

*speechless*

Uh, oh. Sekali standing ovation lagi untuk Mbae Kitty atas desain sampul yang aduhai kerennya. Jujur, lebih suka versi Indonesianya daripada versi asli, ehe.

Duh gimana ya, kalau begini terus yang ada bukan review jatuhnya, tetapi ajang muji-muji, ehe. Karena ketika saya membaca buku ini, tidak ada typo, cerita bagus, alur baik, konsep mengagumkan, dan lain sebagainya yang pasti bakal membuat kalian terkagum-kagum ketika membaca buku ini.

Overall, teknisnya tak memiliki cela. Perfect.

Jadi mari, kita ke ranah subjektif saja.

Dilihat dari blurb di atas, hal-hal seperti; sepuluh alasan Samantha Madison bingung berat sepuluh alasan kenapa Sam membenci Lucy, sepuluh fakta tentang Dolley Madison, hingga sepuluh hal yang memungkinkan Sam akan mati muda, akan dapat kalian temukan di dalam buku ini.

Dan menurut saya, hal itulah yang membuat buku ini memiliki konsep yang sangat unik dan mengagumkan. Karena kalau kalian membacanya, maka kalian akan menemukan benang merah antara sepuluh hal-sepuluh hal itu dengan cerita intinya. So, jangan malas untuk membaca selingan-selingannya yang tak hanya lucu, namun juga sangat mengedukasi.

Bukankah dewasa ini sangat sulit menemukan buku fiksi yang selain bagus juga mengedukasi?

Tema serta ceritanya juga benar-benar berbeda. Coba beritahu saya buku apa, selain buku ini, yang menceritakan tentang remaja yang menggagalkan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Amerika Serikat? Jarang, kan? Atau malah tidak ada? Itulah yang membuat buku ini terasa berbeda dari buku-buku teenlit lainnya.

Kekhasan buku ini, dan juga buku-buku karangan Mbae Meg lainnya, adalah porsi dialog dan porsi paragraf deskripsi-narasi yang sangat berbeda. Jadi jangan heran kalau Sam bilang “A” kepada Jack, maka akan disela jeda panjang berisi paragraf deskripsi-narasi berhalaman-halaman, baru kemudian Jack merespon “B” kepada Sam.

Pokoknya dijamin keren, deh!

Oh, iya! Biar review saya terlihat lebih unik, maka saya akan memberikan kalian sepuluh alasan kenapa buku ini bagus banget:

  • Kalian nggak akan pernah nemu novel terjemahan yang bahasanya se-asoy
  • Kalian nggak akan nggak jatuh cinta sama Sam.
  • Juga cara berpikirnya dia.
  • Mungkin kalian akan bingung, pada klimaksnya, namun nikmati saja. It’s so worthy.
  • Saya bingung, saya menikmati, saya puas. Terima kasih OnClinic.
  • Banyak fakta tentang seni di dalam buku ini.
  • Juga vagina.
  • Sudahkah saya bilang kalau nanti saya bakal tulis review sekuelnya, Ready Or Not?.
  • Tenang saja, cuma ada dua sekuel.

Dan, alasan paling utama mengapa menurut saya buku ini bagus banget:

  • Umur saya bertambah bulan ini, dan buku ini membuat saya merasa kalau saya ternyata masih sangat, sangat muda. Yay! Forever young, forever happy!

Uh, oh! And here goes rating!

Bintang 5