Review: Matahari di Atas Bukit

0

Processed with VSCO with t2 preset

Matahari di Atas Bukit

Penulis: Ris Prasetyo

Lukisan cover: Steve Kamajaya

Penerbit: ALAM BUDAYA

Cetakan: I (1985)

Jumlah halaman: 277 hlmn

*

ᴥ Blurb ᴥ

Seorang insinyur wanita berada di wilayah pertambangan. Di sini ia terlibat dengan berbagai masalah; cinta, kekuasaan serta berbagai intrik kedegilan manusia. Namun tidak sejengkal pun ia mundur.

Novel ini luar biasa, karena ia membeberkan berbagai sisi perasaan wanita; kekerasannya, kelembutannya dan perlawanannya. Ris Prasetyo menuang semua secara intens dan penuh penghayatan, maka layak novel ini memenangkan hadiah kedua dalam Sayembara Fiksi Majalah Sarina 1.

*

“Ayah betul bahwa kemerdekaan membutuhkan ide-ide dari para pemikir. Tetapi sebagai calon pemimpin yang baik, tidak hanya duduk di belakang meja menunjuk kesalahan bawahan, Yah. Dia harus bisa terjun langsung ke lapangan. Kalau perlu memberikan contoh bagaimana yang sebenarnya harus diperbuat.”

-Utari (hlmn 22)

Berkisah tentang seorang insinyur wanita yang menjadi Base Camp Master di salah satu pusat pertambangan batu mangan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Meski memiliki jabatan yang lebih tinggi di antara yang lain-lain, Utari tetap bisa mengayomi dan mampu bersahabat dengan anak-anak buahnya; Zulfikar, Kustomo, Tony, Sahala, Fauzi dan Cong.

Sungguh baik hati wanita yang satu ini, selain berusaha dengan keras demi melancarkan proses tambang perusahaannya, Utari juga menaruh simpati kepada kondisi masyarakat yang terbelakang dan kurang berpendidikan di desa-desanya. Kondisi masyarakat di desa-desa itu, Kalemba contohnya, sungguh sangat memprihatinkan. Anak-anak di sana tak mampu sekolah sampai ke jenjang yang cukup tinggi. Sedangkan orang dewasanya kerap bermalas-malasan, padahal kebutuhan semakin lama semakin mahal.

Adanya proyek tambang ini tentu disambut dengan gembira oleh para masyarakatnya. Banyak sekali kebaikan-kebaikan yang timbul akibat adanya proyek ini, sebut saja terbukanya lapangan pekerjaan bagi seluruh golongan masyarakat (termasuk anak-anak dan wanita. Psstttt… ini sebenarnya tidak dibolehkan loh); meningkatnya perputaran uang di sana sebab orang-orang proyek sedikit banyak membutuhkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat seperti ikan, minyak kelapa, sayur-mayur, dan lain-lain; juga pembangunan infrastruktur demi kemaslahatan masyarakat.

Namun, akan selalu ada orang-orang yang tak berkenan dengan perubahan. Apalagi jika perubahan itu sedikit banyak mengusik-usik kenyamanan. Sebut saja Kasim Gumba “Si Macan Putih”, jagoan kampung yang sangat ditakuti hingga penjuru pulau.

Penyebab Kasim Gumba memandang benci proyek tambang ini, tak lain dan tak bukan adalah karena banyak orang yang mulai melupakan nilai-nilai luhur dan adat istiadat masyarakat. Wanita-wanita tak lagi di rumah melayani suami dan anak mereka. Bukit-bukit digerogoti buldoser-buldoser. Dan orang-orang proyek banyak melakukan tindakan tidak terpuji dengan merayu dan menghamili anak-anak gadis di desa.

Itu, atau ada hal yang lain yang entah?

Di tengah-tengah segala sabotase yang dilakukan oknum-oknum desa—seperti dirusaknya jembatan yang baru saja dibangun Utari, paku dan duri yang diserak di sepanjang jalan, isu-isu yang disebar yang mampu memancing adu domba—Utari mendapatkan dukungan penuh dari lelaki yang dicintainya, Insinyur Joko.

Meski begitu, percayakah Utari ketika Insinyur Joko membalas cintanya? Padahal kita tahu sama tahu kalaulah Insinyur Joko adalah Don Juan yang kerap bermain api dengan wanita?

“Tunggu dulu. Politik untuk hidup atau hidup untuk politik, Zul?”

“Kelihatannya, dua hal itu sekali jalan, Bu.”

-(hlmn 38)

Ris Prasetyo mengambil semesta 1980an untuk latar waktu ‘Matahari di Atas Bukit’. Hal ini tentu menjadi pembeda dan penanda keunikan buku ini dibanding beberapa buku terakhir yang saya baca. Digempur habis-habisan oleh kemajuan dan kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi, saya diajak berjalan-jalan di Nusa Tenggara Barat hampir empat-puluh-tahun lalu. Dan rasanya teramat-amat-amat-amat-amat sangat menyenangkan!

Kegembiraan saya tak sampai di situ saja. Dengan budaya bahasa yang dimiliki angkatan 80an, jua ketertiban menulis yang berlaku saat itu, saya dibuat jatuh cinta pada kata demi katanya, pada frasa demi frasanya. Pada istilah-istilahnya. Pada keindahan tekniknya. Pada segala, pada semua.

wp-1502803284726.

“Siang itu betul-betul dia merasakan ibarat meniti pada kawat berduri. Maju hancur, mundur terkubur.”

-(hlmn 64)

Membaca kisah Utari bagaikan membaca kisah Raden Ajeng Kartini di dimensi waktu dan tempat yang lain. Betapa polah tingkahnya sungguh merupakan cerminan dari apa yang seharusnya wanita masa kini (dan bahkan di masa depan) miliki; teguh hati, percaya diri, lembut namun jua berani.

Dan di sinilah bagian yang paling saya sukai di buku ini, ketika Utari mendobrak segala kemapanan dan stereotip tentang wanita yang harusnya begini, harusnya begitu.

“Prestasinya yang menonjol sempat dibuktikan ketika dia memimpin pencarian urat emas di daerah Masuparia, Kalimantan Tengah. Dia telah berbuat banyak. Sebagai wanita, dia telah berhasil menyusup ke tengah-tengah rumah penduduk yang sulit ditembus, ke tengah-tengah hutan yang ganas, dan ke tengah-tengah pelacuran yang akan tumbuh di tengah hutan itu. Bahkan tak jarang dia berhasil membangkitkan semangat kaum ibu di pinggir-pinggir hutan yang terasing, atau di desa-desa yang terpencil. Dialah Kartini abad ini! Dialah Utari!”

-(hlmn 77)

Meski banyak bercerita tentang romansa antara Utari dan Insinyur Joko, juga kegigihan Utari dalam melaksanakan kewajibannya sebagai salah satu pemimpin proyek tambang ini, Ris Prasetyo tak lupa memberikan bumbu-bumbu lain seperti konflik keluarga, kedegilan manusia, dan rasa nasionalisme yang menjadikan buku ini begitu nikmat, begitu lezat untuk dibaca.

Hanya tiga hal yang sempat menjadi cabai di gigi (baca: sedikit mengurangi bookgasm yang tengah saya alami pada buku ini); pertama, penggunaan sudut pandang orang ketiga yang sempat membingungkan di awal-awal cerita. Saya agak sedikit sulit menjabarkannya jadi, maaf.

Kedua, pemakaian bahasa asing (entah Belanda, entah Perancis, duh tak pandai saya) yang kadang-kadang digunakan Insinyur Joko ketika berbicara dengan Utari yang tidak ada catatan kakinya. Ingin saya bisikkan rasanya kepada Ris Prasetyo; ‘Manknya pemb4ca-pembac4 lau perna iqut lez basa asink, hah?’

Ketiga, adegan (hampir) bunuh diri yang membuat saya terheran-heran di tengah-tengah cerita. Entah karena plothole, entah karena memang harusnya seperti itu dan perbedaan budaya dan logika di antara saya dan Ris Prasetyo-lah yang menjadi hambatannya.

“Rambut boleh sama hitam tetapi pendapat bisa berlainan.”

-(hlmn 51)

Saya, dengan teramat bahagia dan tiada secuil pun keraguan, memberikan…

Bintang 5

Selamat Ris Prasetyo. Satu yang saya ingin tahu; bagaimana caranya agar kau tahu kalau bukumu yang satu ini teramat saya cintai?

“Hati-hati bicara, Zul. Di daerah tertentu di wilayah ini uang seratus ribu sudah bisa membunuh manusia.”

“Ya, nggak usah jauh-jauh, Bu. Di Jakarta sana, gara-gara rokok sebatang, nyawa bisa melayang.”

-(hlmn 39)

Sampai ketemu di ulasan selanjutnya!

wp-1502803357517.