Review : The Golden Road

1

The Golden Road

THE GOLDEN ROAD – HARI-HARI BAHAGIA

Penulis : Lucy Maud Montgomery

Alih Bahasa : Tanti Lesmana

Desain Kover : Ratu Lakhsmita Indira

Tebal : 352 hlmn

ISBN : 978-979-22-5718-2

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010

*

šBLURB›

Sara Stanley, si Gadis Pendongeng, kembali ke Carlisle untuk menghabiskan musim dingin bersama keluarga King. Untuk membantu melewatkan bulan-bulan musim dingin yang membosankan, dia mengusulkan kepada para sepupunya untuk membuat majalah. Beverly menjadi editornya, sedangkan dia, Felicity, Cecily, Dan, dan Felix bertanggung jawab terhadap kolom masing-masing.

Majalah itu juga akan memuat berbagai peristiwa menarik di Carlisle. Majalah Kita dengan cepat menjadi sumber hiburan yang menyenangkan bagi mereka, di samping berbagai peristiwa yang terjadi pada musim itu. Namun tak ada yang abadi. Ketika ayah si Gadis Pendongeng datang menjemput, dengan berat hati dia harus meninggalkan sahabatnya di Pulau Prince Edward.

***

  • Kesan yang Zen harapkan saat ingin membaca buku ini.

“Ini buku apa? kok tiba-tiba da di dalam lemari? Wah, maybe Santa was real. And so did unicorn.”

Buku pemberian entah siapa ini sudah ada sedari dulu di lemari buku milik Keluarga Bustami. Entah siapa—atau apa—yang memberi, Zen mengucapkan terima kasih yang teramat sangat. Dulu sekali, butuh tiga kali pikir-pikir untuk membaca buku ini. Kenapa? Sebab buku terjemahan, apalagi terjemahan klasik, cuma bikin pusing di awal dan baru ketemu benang merahnya di tengah dan bahkan di akhir (ex: Harry Potter).

Awal Februari ini saya memutuskan untuk membaca ulang buku karangan L.M. Montgomery ini. Dan dengan ilmu yang telah bertambah seiring berjalannya waktu, Zen harap dapat lebih mampu mengerti isi dari novel yang pastinya tersebut.

Oh, iya, kovernya bagus banget. Sukaaak.

  • Kesan yang Zen dapatkan setelah membaca buku ini.

“You know you’ve read a good book when you turn the last page and feel a little as if you have lost a friend.” —Paul Sweeney

Novel ini luar biasa bagusnya. Ampuuunnnnn. Jadi makin cinta sama literatur klasik kayak begini. Cara penulis merangkai kata demi kata, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat benar-benar menunjukkan kualitasnya sebagai penulis hebat di masanya. Keren. Kalo punya jempol sejuta, sudah Zen acungin deh. Oh iya, jumlah jempol yang sama buat alih bahasanya, keren abis, seperti benar-benar ditulis dalam bahasa ibu.

Majas personifikasi dan metafora sangat dominan di novel ini. Walaupun begitu, tidak berlebihan dan malah mempercantik pendeskripsian yang sukses dilakukan oleh penulis. Begitu indah tutur katanya. Jadi kebayang betapa cantiknya bentangan alam di pulau Prince Edward.

“Akan tetapi pada malam berbulan, kebun buah itu tampak seperti negeri dongeng, lorong-lorongnya yang bersalju berkilauan bagaikan jalan-jalan dari gading dan kristal, dan pohon-pohon gundul tak berdaun memancarkan kemerlip pendar-pendar bak cahaya peri. Jalan Setapak Paman Stephen yang tertutup salju halus seolah-olah diselubungi pesona sihir putih. Indah tak bernoda, seperti jalanan dari mutiara di Yerusalem yang baru.”

Sekali lagi jempol yang teramat banyak buat penulis dan alih bahasa.

  • Intisari dari buku ini adalah…

Daripada disebut novel, saya kok merasa buku The Golden Road ini sedikit berbeda. Lebih mirip ke buku harian atau mungkin kumpulan dongeng.

Buku ini bercerita tentang kehidupan anak-anak Keluarga King dan sepupu-sepupu mereka, termasuk si Gadis Pendongeng. Sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang pertama, aku. Sang aku yang bernama Beverly mempunyai sudut pandang yang unik, berkali-kali saya kebingungan antara ini pikiran Beverly atau Gadis Pendongeng, sih? Sebab fokus Beverly lebih dominan ke Gadis Pendongeng.

Lebih mirip ke kumpulan dongeng atau diary sebab banyak kisah-kisah yang didongengkan si Gadis Pendongeng kepada teman-temannya. Dongeng-dongengnya begitu khas dan orisinal. Jadi seperti ada cerita dalam cerita. Lagi-lagi jempol sing akeh.

Oh, ya, Majalah Kita mempunyai peran yang cukup penting di buku ini, dan dijamin kalian bakal senyam-senyum sendiri kalo baca kolom-kolom di dalamnya. Ehe… ehe…

  • Tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam buku ini beserta karakternya yaitu sebagai berikut :
    • Beverly, mungkinkah dia menyukai si Gadis Pendongeng? Tapi, kok…
    • Si Gadis Pendongeng, pencerita yang baik, punya daya magis yang mampu memikat orang-orang di sekitarnya.
    • Cecily, mempunyai hati paling baik dibanding anak-anak yang lain, : )
    • Felicity, judes di awal, tapi kamu pasti bakal jatuh cinta di akhir. Ehe…
    • Felix, tak terlalu menonjol, namun kolom humor asuhannya sukses membuat Zen… #AyoIsiSesukamu
    • Dan, favorit Zen. Ternyata sejak tahun 1900-an sarkasme sudah ada dan teramat menggelitik.
    • Peter, sepertinya tergila-gila dengan Felicity, dan ia sangat menyukai ramalan yang dibuat oleh si Gadis Pendongeng. Zen juga suka semua ramalan yang dibuatnya, walaupun entah kenapa ada rasa sedih yang purba ketika mendengar kata-kata terakhir lamaran tersebut : (
    • Sara Ray, cengeng, hampir semua anak lelaki Keluarga King tidak suka kepadanya.
    • Masih ada si Lelaki Canggung, Istri Gubernur, Peg Bowen, Paman Blair, Paddy dan banyak lagi yang harus kamu selidiki sendiri nantinya. Dan mungkin, setelah membaca buku ini, Zen dan kamu akan memiliki kesan yang berbeda. Siapa tahu?
  • Alur ceritanya…

Maju mundur. Maju, mundur, maju mundur. Duh, kompliketet banget, bang : ( Zen sampai lelah meraba-raba. Ada yang diceritakan seratus tahun silam, empat puluh tahun kemudian, ketika aku sudah begitu tua, pokoknya kompliketet. But, once again, it’s worth to read.

  • Endingnya…

Puasshhhhh. Bener-bener seperti kehilangan seorang teman ketika halaman terakhir usai dibaca : ( Oh sad. Yha, sad ending. Serius lho, endingnya bikin baper.

  • Manfaat yang Zen peroleh…

Dapet ilmu kepenulisan lebih dan lebih lagi. Lebih ingin belajar menikmati hidup. Dan ternyata ungkapan “Don’t grow up, it’s a trap,” itu bener banget.

  • Kalau Zen bertemu dengan sang penulis…

“Ayo bikin lanjutannyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa :  (“

  • Rating

Bintang 4

Pengennya sih ngasih lima, tapi belum baca yang sekuel pertama, The Story Girl, ehe ehe…