Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Keempat-‘Boyfriend’)

0

Empat kali empat sama dengan empat kuadrat

Sempat tidak sempat harus sempat menjalankan salat

(Pantun yang sudah lama ada di dalam kepala akhirnya keluar juga. Lega.)

Membaca empat cerita pertama ‘Two Weeks Stories’, karya para penulis yang tergabung pada kelompok menulis Kelompok Menulis, memberikan saya kesimpulan kalau komunitas ini terdiri dari penulis-penulis pemula yang baru terjun ke dalam dunia penulisan. Penulis-penulis pemula yang lupa kalau sebelum menjadi penulis mereka harus terlebih dahulu menjadi pembaca.

Cerita ‘Boyfriend’ karya Christin Lestari menunjukkan ketidakmatangan dalam menulis, serampangan dan abai terhadap kaidah penulisan yang baik dan benar, klise dalam menggali ide cerita, serta eksekusi yang cungguh cabar dan ceroboh.

Ingin rasanya menanyakan kepada para penulis ini buku apa saja yang sudah dibaca, berapa banyak, berapa yang diulas, berapa yang dijadikan kiblat dalam karir kepenulisan mereka. Karena sungguh, sebelum menjadi penulis mereka harus terlebih dahulu menjadi pembaca.

Ini bukan saya, lho, yang ngomong. Ini yang mbacot Tuanku Imam Besar Eka Kurniawan Yang Dipertuan Agung.

Christin Lestari mesti mencari tahu lebih lagi tentang penulisan kalimat langsung, penggunaan tanda baca, pemilihan diksi (dua kali kata ‘hirau’ muncul, yang mungkin maksudnya ‘abai’ atau ‘tidak peduli’ tetapi keliru diartikan ‘peduli’), logika cerita, plotting, dan muasih banyak lagi.

Namun, jangan patah semangat dulu, duhai Christin. Naskah ini memiliki apa yang tidak dimiliki tiga naskah sebelumnya; karakteristik. Meski samar, ia ada. Cara bercerita yang ceplas-ceplos, lucu, dan mengalir (ketika antek-antek Randi menggoda kedua tokoh utama, yang merupakan satu-satunya hal yang menghibur dari keseluruhan naskah ini) mengingatkan saya kepada buku ‘Marriagable’ karya Riri Sardjono, salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.

Teknik menulis dapat dipelajari, karakteristik bisa diasah, dan jalan masih panjang membentang. Jangan pernah merasa kenyang terhadap ilmu, saya tunggu karya-karyamu selanjutnya.

Yah… tentunya karya yang layak untuk dibaca.

Empat kali empat sama dengan empat kuadrat

Sempat tidak sempat harus sempat menjalankan salat

Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Ketiga-‘Hadiah Ulang Tahunku’)

0

Hari ketiga, cerita ketiga. Dihidangkan kisah rekaan Bernadetta Utomo berjudul ‘Hadiah Ulang Tahunku’. Lalu apa sih cerita yang bagus itu?

Pertanyaan ini sungguh subjektif, tidak ada jawaban yang pasti benar atau pasti salah. Setiap orang memiliki cara pandangnya sendiri, nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, dan lingkungan yang membentuk mereka menjadi mereka. Bisa saja cerita-cerita tentang kaum marjinal seperti LGBT dibenci oleh mereka yang konservatif. Lalu kisah-kisah tentang surga dan neraka tak lagi relevan bagi mereka yang dahriah. Karya anggitan people of color tak masuk ke logika white supremacist. Orang miskin tak mengenal Bvlgari, Dior, Benz, Fendi yang kerap muncul pada lakon-lakon orang kaya.

Oleh sebab itu menilai sebuah karya bagus atau tidak sungguhlah sia-sia.

Dan tabiat manusia; gemar melakukan kesia-siaan.

Cerita ini kunilai decent; muluk-muluk bila dikatakan bagus, tak bestari bila dikatakan jelek. Dibandingkan dua karya sebelumnya, Bernadetta menulis dengan lebih tertata dibanding Akhita (meski masih kebingungan mana di- yang dipisah dan disambung, juga soal pemilihan kata yang lumayan repetitif), tetapi tokoh-tokohnya bertindak seperti kekurangan motivasi, tidak sebagaimana yang ditunjukkan oleh karakter-karakter dalam cerita Aisyah.

Cerita pendek yang bagus menurutku sangat bergantung pada bagaimana cara eksekusinya. Ide boleh sederhana, absurd bahkan. Tetapi jika eksekusinya apik dan kirana, maka pembaca tentu takkan dibuat kecewa.

Cerita ini memiliki ide yang terlalu sederhana dan eksekusi yang segitu saja. Seperti membaca diari Nena yang kepalang kesengsem dengan Surya, dan kecewa kenapa sih Babang Surya tidak ngucapin met ultah ke aq huhuhu :”(

Kemudian, pertanyaan yang muncul setelah pertanyaan, bagaimana cara mengeksekusi cerita yang apik?

Pertanyaan ini sungguh subjektif, tidak ada jawaban yang pasti benar atau pasti salah. Setiap orang memiliki cara pandangnya sendiri, nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, dan lingkungan yang membentuk mereka menjadi mereka.

Nena yang tengah menunggu pesan dari Babang Surya
Kolase olehku sendiri

Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Kedua-‘Surat Tersirat Malam Fantasi Kania’)

0

Hari kedua di “Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya”, aku sebagai pembaca disuguhkan sebuah kisah anggitan Akhita Yuam Mahardika berjudul Surat Tersirat Malam Fantasi Kania.

Kisah ini lumayan panjang, perlu waktu lebih-kurang dua puluh menit untuk menyelesaikannya. Menulis cerita pendek yang agak panjang dan tetap bagus memang agak tricky. Pertama, orang-orang yang niatnya membaca cerita pendek tentu mengharapkan cerita yang habis sekali duduk. Disuguhkan tulisan sepanjang dua puluh menit padahal waktu yang kita butuhkan untuk buang air (misalnya) hanya lima menit tentu akan menimbulkan dilema; berhenti membaca atau rela berlama-lama jongkok dan membiarkan kotoran kering.

Aku mengambil pilihan ketiga; membaca skimming.

Sedari awal penulis kurang memikat dalam membuka cerita. Pembaca dibiarkan buta dan meraba-raba mau ke mana arah cerita. Hal-hal penting tak penting (yang menurutku kebanyakan tak pentingnya) diangkat hingga cerita melebar. Mari kurangkum: ibu membangunkan Kania, Kania menolak bangun, Kania akhirnya bangun, Kania mandi, water heater Kania rusak, Kania meminta ayah untuk memperbaiki water heater, Kania kembali mandi, ayah memasak, Kania sekeluarga sarapan, Kania berangkat sekolah, Kania pamit ke ayahnya, Kania bertemu teman-temannya, Kania sungguh pribadi yang bertele-tele, pasti itu penyebab dia dirundung teman-temannya.

Sampai sini pembaca masih tidak tahu apa tujuan Heroine sebenarnya. Dan sumpah, rasanya pegal, ditambah kesalahan pengetikan dan tata bahasa yang hampir ada di setiap kalimat.

Itu alasan kedua mengapa mencipta cerita pendek yang panjang sangat tricky, kalau memang terpaksa harus membuat cerita pendek yang panjang, buat sebagus mungkin, serapi mungkin, hingga pembaca yang niatnya membaca sekali duduk rela berlama-lama jongkok sampai-sampai kotoran mengering.

Yang paling membuat kening berkerut dan alis menyatu adalah eksekusi penulis pada akhir tulisan. Apakah penulis sengaja membuat loop ending? Akhiran yang berulang-ulang? Kalau salah, silakan panitia memperbaiki cerita ini karena sepertinya bagian akhirnya hilang (atau tertimpa hasil copy-paste bagian lain).

Kalau benar, maka menurutku sebagai pembaca, penulis sama sekali tidak berhasil. Yang kulihat dan kudapat hanyalah cerita linglung tersesat dalam belantara pilihan dan pada akhirnya mati mengenaskan tanpa pernah melihat jalan masuk atau jalan keluar lagi.

Sampai sini, aku benar-benar mematikan harapanku untuk cerita selanjutnya.

Karena sama sekali tidak ada yang bisa kuinterpretasikan dari cerita ini, maka akan kupakai saja koleksi kolase lamaku. Ehe.

Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Pertama-‘Malice’)

0

Paruh akhir Juli kemarin, Kelompok Menulis, sebuah komunitas menulis yang eksis di LINE OpenChat, menyelenggarakan lomba menulis cerita pendek. Entah dari berapa banyak naskah masuk, hingga akhirnya delapan cerita terbit secara daring di platform baca-tulis Wattpad. Para pembaca, termasuk aku, diajak untuk mengulas cerita-cerita yang terhimpun dalam buku berjudul ‘Two Weeks Stories’.

Selalu menyenangkan membaca kisah-kisah yang disabung oleh para penceritanya. Bayangkan Gladiator dari tiap penjuru dunia, dihimpun dalam Colosseum, mereka dengan kemampuannya masing-masing menaruh lehernya di mata pedang, saling tebas, saling sikat, saling unjuk kebolehan, demi satu titel; pemenang.

Dan para penonton menjerit-jerit liar, lebih dan lebih haus darah. Meski tentu aku hanya sedikit melebih-lebihkan.

Cerita pertama yang disajikan berjudul ‘Malice’ oleh Aisyah Adinda. Kemudian, teman-teman Kelompok Menulis, perkenankan aku untuk mengomentari cerita ini.

“Pasal 286. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Aku menyukai cerita dengan twisted ending seperti ini, karena membuat cerita dengan teknik ini sungguh sangat, sangat sulit. Aku sendiri perlu waktu tiga tahun untuk mengasah kemampuanku membuat puntiran pada akhir cerita, dan kurasa dengan waktu selama itu pun ternyata masih belum memadai.

Eksekusi yang Aisyah berikan pada cerita ini menurutku cukup. Ide cerita luar biasa, penceritaan lumayan mengalir, meskipun ada beberapa kesalahan penulisan -ku -mu -lah yang seharusnya digabung tetapi keliru malah dipisah.

Masalah hadir pada akhir cerita atau puncak konflik: pembaca kebingungan.

Atau hanya aku saja yang kebingungan?

Cerita mengacu pada latar belakang Jane, kemampuannya, keinginannya, kekhawatirannya, perbuatannya, dan pada akhirnya, tendensi pada semua perangainya.

Diakhiri dengan Nisa yang diberi obat tidur, pun tiga angka yang berkedip-kedip di atas kepalanya, aku mengambil kesimpulan kalau Jane sebenarnya hendak memerkosa Nisa, dan untuk itu ia tega mendorong Farhan jatuh dari puncak tangga.

Yang sebenarnya puntiran yang luar biasa kalau saja pembaca tak dibiarkan terkecoh/sengaja dibodoh-bodohi.

Membuat puntiran di akhir tak serta merta seperti membengkokkan besi; dilakukan begitu saja. Membuat puntiran ada seninya. Kalau hanya dibekukkan begitu saja, logika pembaca akan patah. Aku sendiri selalu diwanti-wanti untuk menaruh keping-keping puzzle, petunjuk-petunjuk samar, agar puntiran di akhir tak terkesan jedar-jeder. Dan di cerita ini sama sekali tak ada keping atau petunjuk yang kumaksud.

Oke, di awal Jane menyatakan kalau ia ‘menyukai’ anak-anak. Tetapi ‘suka’ memiliki arti yang luas. Jadi, mari kubantu; bagaimana kalau kalimat ini:

Hidup dikelilingi manusia-manusia kecil tanpa dosa barulah definisi hidup yang menyenangkan bagiku.

Dibuat seperti ini:

Hidup dikelilingi manusia-manusia kecil tanpa dosa barulah definisi hidup yang menggairahkan bagiku.

Atau kalau ingin lebih halus lagi:

Hidup dikelilingi manusia-manusia kecil tanpa dosa barulah definisi hidup yang mendebarkan bagiku.

Itu baru satu dari beberapa hal yang membuat eksekusi puntiran di akhir terkesan tidak masuk akal. Hal lain seperti motif Farhan untuk membunuh jua masih belum diketahui. Apakah nantinya Farhan membunuh Jane karena Jane ketahuan memerkosa Nisa? Lalu apa maksud ‘Malice’ pada judul yang berkaitan erat dengan cerita?

Pun pasal 286 (kalau memang ini benar pasal yang dimaksud, kalau salah maka semua omonganku hanya akan jadi kata-kata nirmakna) tidak cocok untuk dijatuhi kepada Jane. Pemerkosaan tentu beda dengan pencabulan.

Sebagai cerita pembuka, Malice mengatak ekspektasi pembaca tidak rendah, namun juga tidak tinggi.

Kolase yang kubuat hasil interpretasi cerita ‘Malice’ karya Aisyah Adinda