Review: Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

0

Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

Penulis: Pringadi A. Surya

Penyunting: Dian Dwi Anisa

Pemeriksa aksara: Maria Puspitasari

Penata letak: Randy Arba Pahlevi

Desainer kover: Nugroho Daru Cahyono

Penerbit: Indie Book Corner

Cetakan: I (2017)

Jumlah halaman: 114 hlmn

*

ᴥ Blurb ᴥ

Ahasveros, seorang raja Persia, dalam kitab Ezra disebut rela meninggalkan takhtanya untuk mencari sesuatu. Ia tidak tahu apa yang dicarinya, bahkan sampai ia mati, membusuk, hancur tulang-tulangnya.

Setelah mati, apa yang terjadi? Saya tidak tahu.

Agama-agama menyebutkan adanya kehidupan setelah kematian. Aneh rasanya jika sudah susah payah bunuh diri, ternyata hanya pindah ke kehidupan yang lain. Di sana, seorang pelaku bunuh diri pasti akan frustrasi mencoba bunuh diri lagi. Disebutkan bahwa kehidupan lain itu abadi, artinya pelaku bunuh diri dapat mencoba semua teknik bunuh diri, mengulanginya terus menerus sampai para penontonnya bosan.

Pada titik ini, saya berpikir, buat apa hidup dalam keabadian? Dan dalam keadaan pasrah menerima penghakiman, bahagia atau menderita selamanya?

*

Di Cikini, saya sempat menanyakan kepada Mas Pringadi; “Apakah Mas Pring akan mencoba bentuk penceritaan yang tidak umum, yang jungkir-balik, yang berbentuk—istilah ini sekarang ramai diperbincangkan—eksperimental?”

Saya yang saat itu hanya menyiapkan diri untuk menerima jawaban ‘ya dan mengapa’ serta ‘tidak dan mengapa’ merasa tersentil karena mendapatkan hal yang sama sekali berbeda. “Saya lebih ingin melakukan eksperimen dalam segi gagasan, bukan bentuk,” jawabnya, kalem sekali, dilanjutkan penjelasan panjang betapa penulis-penulis dalam negeri masih kurang menggali gagasan-gagasan. Betapa pula banyak gagasan-gagasan baru yang menunggu untuk ditemukan, diolah, didiskusikan, dan tentu saja diceritakan.

Kemudian, setelah membaca buku kesekian beliau, ‘Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir’, konsep eksperimentasi gagasan ini semakin jelas, dan pastinya semakin memikat untuk dipelajari.

Karena, mengapa tidak?

Kumpulan cerpen dengan seratus tiga halaman ini memuat empat belas kisah yang sedia untuk dinikmati, sudah jelas dengan gagasan-gagasan baru-membarukan; tentang seseorang yang ingin berhenti berpikir barang sehari (Hari yang Indah untuk Tidak Berpikir), tentang kebohongan dan kasih tak sampai (Kopi Colombus, Nacinta, 2O14, Katak Bunuh Diri, Jam Makan Siang, Sebuah Esai Milik Memori), tentang mistis dan kritik (Motor Terbang, Teruna), tentang bunuh diri (Apa yang Dipikirkan oleh Ryunosuke Akutagawa Lima Detik Sebelum Bunuh Diri, Baby Five), terakhir tentang tikung-menikung (Empat Ratus Tahun Cerita Lelaki, Bersahabat dengan Alien). Pandangan ini lahir tentu dari pemaknaan saya dan hanya saya sendiri. Teman-teman yang sudah membaca mungkin mendapatkan pengartian yang berbeda :)))

Dari keseluruhan cerpen-cerpen tersebut, sungguh sulit menentukan satu yang paling baik. Semua hampir sama kuat, rating saya berputar di empat sampai lima bintang dari lima bintang. Setelah terpaksa mengeliminasi Motor Terbang dari dua terbaik versi saya, saya mendapatkan Baby Five sebagai pemenangnya.

Lain halnya dengan yang paling tidak saya sukai, sekali baca langsung dapat, dan teramat sangat menyesali hal ini. Yang saya bicarakan adalah cerpen yang judulnya dijadikan judul buku kumcerpen ini.

Ada beberapa hal yang tak sukai—mungkin rasa suka ini lahir dari ketakmengertian—dari cerpen yang—satu lagi yang membuat saya menyesal—dijadikan cerpen pertama dalam buku ini. First impression itu penting, entah kata siapa. Dan saya tak merasa dikenalkan oleh rasa penting ini.

Mas Bamby kemarin bilang, “Buku ‘Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir’ ini sungguh membuat saya tak berhenti berpikir.” Saya belum membaca buku ini waktu gurunda berkata seperti itu, setelahnya baru saya mengerti. Mas Pringadi sungguh memaksa kita untuk berpikir di cerpen pertama ini. Sebuah kontradiksi dengan judulnya. Sebuah ironikah yang ditawarkan beliau? Mungkin. Entahlah, yang saya benar tahu saya tidak memiliki apresiasi atau pengalaman menyenangkan ketika membacanya.

Ceritanya simpel sekali, namun dibuat rumit. Bercerita tentang seseorang yang tidak mau berpikir barang sehari, namun pikirannya ternyata mengkhianatinya. Itu dan tak lupa juga gangguan dari temannya yang Alien, yang berkali-kali meng-SMS-nya yang aneh-aneh.

Ada lebih dari tujuh informasi yang dicoba dijejalkan, dipejalkan ke dalam pikiran kita. Sebut saja Clement Attlee yang dihubung-hubungkan dengan orang Banten, New Public Services dan privatisasi BUMN, Prinses van Kasiruta dan posesivitas, jerapah Lamarck dan teori Darwin, IMF dan World Bank, Myanmar dan pertumbuhan ekonomi, arogansi Wenger dan bursa transfer, serta beberapa lainnya yang memiliki porsi lebih sedikit, namun tetap saja berupa informasi.

Dalam menulis Flash Fiction atau fiksi kilat atau fiksimini, twist atau puntiran yang berhasil adalah yang memberikan efek kejut, tanpa penulis berusaha menjelas-jelaskan di mana letak puntirannya. Begitu juga dengan lelucon, lelucon yang baik adalah yang dapat membuat mayoritas tertawa, sedang yang tidak tertawa biarlah kita cap sebagai ‘nggak nyampe’, namun kuncinya tetap, mayoritas tertawa.

Saya tak melihat urgensi informasi-informasi yang Mas Pringadi coba hidangkan ke pembacanya. Apakah Mas Pringadi seringan hati itu untuk mendepak kita dari tempat tidur atau sofa atau kursi malas untuk ke perpus terdekat atau kedutaan Inggris untuk Indonesia hanya agar pembacanya tahu siapa itu Clement Attlee? Tentu saya membayangkan hal ini bisa saja terjadi dua sampai tiga puluh tahun ke belakang di mana kemudahan memperoleh informasi harganya mahal.

Jadi menurut saya, cerpen pertama yang seharusnya menjadi first impression ini adalah cerpen yang tidak sebagus cerpen lain kalau tak bisa dibilang gagal.

Saya mengharapkan ada perubahan yang signifikan untuk cetakan selanjutnya, catatan kaki misalnya. Dengan catatan kaki, pembaca setidaknya dapat menangkap apa yang tengah penulis coba lemparkan.

Satu dan hanya satu itu yang bikin saya gemes sama buku ini. Tiga belas cerita sisanya membuat saya paham di mana kelas beliau, mengerti mengapa Pringadi A. Surya bisa dianggap penulis muda berbakat oleh novelis sespektakuler Okky Madasari. Kualitas Mas Pring tecermin benar dalam buku ini, yang tentu membuat beliau langsung berada dalam jajaran penulis favorit dalam daftar saya. ❤

Tak banyak yang bisa saya bagikan tentang cerpen kesukaan saya, Baby Five, kepada teman-teman. Bukankah perasaan menyenangkan dan cerita bagus adalah salah dua hal yang sulit dijabarkan? Apalagi setelah membaca cerita bagus muncul perasaan yang menggembirakan. Wah, makin-makin deh.

Hanya satu pertanyaan mungkin, merujuk kepada kesenangan beliau pada serial komik One Piece; apakah Baby Five yang dijadikan judul ada hubungannya dengan Baby Five yang merupakan salah satu anak buah Donquixote Doflamingo pada Dressrosa Ark?

Spoiler sedikit:

“Saya sudah tahu jawabannya…,” katanya.

Saya diam.

“Hati kamu penuh cinta. Aku tak yakin, bahkan bila hati kamu diletakkan di Everest, ia dapat membeku. Cinta di hati kamu selalu lebih api dari api.”

Saya berusaha mencerna kata-kata itu dan berpikir apakah Hemingway pernah mendapatkan kalimat seperti ini di dalam hidupnya? Apakah Hemingway juga pernah merasakan cinta?

“Orang-orang yang punya cinta tidak perlu mati…,” lanjutnya sambil menunduk. Kemudian seorang pelayan mengantarkan menu dan berdiri di samping meja dengan pose siap mencatat kata-kata kami.

Sayangnya, saat itu, saya kehabisan kata-kata.

-Baby Five

Ini saya ngejerit kecil loh pas selesai baca, kayak, auwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww.

Yang lucu dalam cerpen ini adalah karakter tiap cerita yang seakan-akan saling berkaitan. Bahkan, saya berani bilang kalau cerita-cerita ini membentuk satu cerita utuh, tapi sayang, saya belum menemukan mana hilir mana hulu. Misal, pada cerpen ‘Kopi Columbus’, apakah Teruna sedang ngegalauin teman si K, Alien, yang muncul juga di cerita ‘Empat Ratus Tahun Cerita Lelaki’ dan ‘Bersahabat dengan Alien’? Apakah ini Teruna yang sama dengan Teruna yang dikisahkan pada cerita terakhir dalam buku ini? Bagaimana dengan Nacinta dan Sari? Apakah mereka perempuan yang sama?

Hal ini adalah teka-teki yang menyenangkan untuk diulik, ditemukan, dan terus didiskusikan.

Secara keseluruhan, saya memberikan…

Bintang 5

Sukses selalu Mas Pringadi! Ditunggu novel perdananya!