Review : Terlalu Cinta

4

Terlalu Cinta

Terlalu Cinta

Penulis: Pelantan Lubuk

Editor: Tiara Purnamasari

Layout: Tiara Purnamasari

Desain Sampul: Roeman-Art

Penerbit: Mazaya Publishing House

ISBN: 978-602-72920-6-2

Cetakan: I (Desember 2015)

Harga:  Rp. 77.000,-

*

ᴥBlurb ᴥ

Berdentang sebuah puisi di benakku. Malang adalah kota di mana kita berjumpa, saling mencintai, dan tak berdaya meminta waktu agar sudi kembali.

Lirih puisi lain melambai. Malang adalah kota di mana kita berjumpa, saling mencintai, tak berdaya mengulang hari, tapi kita bisa berjani: janji berjumpa lagi.

Besok malam, waktu untuk menunaikan janji itu tiba. Tidak ada janjian apa pun, selain empat tahun yang lalu ketika jalan cerita lelaki itu menemui titik buntunya, dan mereka berdua putus asa dengan segalanya. Tidak ada janjian apa pun, selain empat tahun yang lalu, untuk bertemu di tempat pertama kali mereka menyudahi semuanya.

Jika mereka sama-sama bisa datang, berarti kisah telah memilih tetap pada lembaran yang sama. Tak perlu ada keraguan lagi. Tak perlu ada penegasan lagi.

Jika di antara mereka ada yang tak datang, berarti kisah telah memilih lembaran yang berbeda. Tak perlu ada kabar lagi. Tak perlu ada penegasan lagi.

Dan hari ini, aku memilih datang.

Aku memilih tetap pada lembaran yang sama.

*

“You must not lose faith in humanity. Humanity is like an ocean; if a few drops of the ocean are dirty, the ocean does not become dirty.”

-Mahatma Gandhi

Ikhlas menurut KBBI: ikhlas a bersih hati; tulus hati.

Ikhlas menurut sebagian netizen dewasa ini: tidak eksis, sekalipun eksis selalu ada kepentingan kaum-kaum tertentu di baliknya.

Peduli menurut KBBI: peduli v mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan.

Peduli menurut sebagian netizen dewasa ini: perbuatan yang memiliki propaganda dalam setiap eksekusinya, selalu ada orang lain yang lebih pantas dihiraukan menurut komparasinya pribadi.

Begitulah, miris bukan?

Mungkin itu semua hanya sekadar terjemahan bebas yang sedikit berlebihan dari saya. Atau mungkin juga realita yang ada memang seperti itu, bahkan mungkin lebih parah lagi. Siapa yang tahu?

Baru saja beberapa hari menjalankan ibadah puasa, publik sudah dibuat gempar karena berita tentang seorang ibu pengelola Warteg (Warung Tegal) yang barang dagangannya habis diganyang Satpol PP. Hal ini dilakukan oleh pemerintah demi pengondusifan suasana Kota Serang selama bulan Ramadan.

Dan tenang saja, saya tidak akan mengeluarkan justifikasi apa pun tentang perkara ini. Karena, benar dan salahnya suatu perkara hanya terletak pada persepsi masing-masing bukan?

Telah banyak debat kusir dan opini-opini yang dikemukakan di berbagai portal berita, forum diskusi serta status-status di sosial media. Pun fakta-fakta dari tragedi penyitaan barang dagangan yang membuat netizen geram (dan sebagian lagi mengamini), muncul semakin banyak dan semakin tidak beretika.

Maksud saya, di mana letak pentingnya fakta bahwa pengusaha Warteg yang sukses mampu memiliki rumah di salah satu daerah yang terkenal eksklusif dalam perkara ini? ‘Pondok Indah’-nya Tegal, sebagian mengungkapkan.

Seorang wanita tua menangis demi mempertahankan dagangannya ketika dirazia. Menyedihkan? Tentu. Memancing belas kasihan? Pasti. Terlepas dari benar atau tidaknya sikap ibu tersebut terhadap peraturan yang ada, saya yakin banyak dari orang-orang di negara ini yang terketuk pintu hatinya, apalagi di bulan nan suci ini. Saya pribadi merasa teramat sedih ketika membayangkan jikalau ibunda sayalah yang berada di Serang sana, karena kebetulan ibunda saya juga seorang pedagang.

 Dan dari sebegitu banyak pintu hati yang terketuk, hanya beberapa yang mau dan peduli untuk ikhlas membantu. Salah satunya Dwika Putra (twitter: @dwikaputra).

“Karena jalan sunyi yang mulia ini, memang tak pernah ramai.”

-Izzat (hlmn 215)

Dengan rasa humanis yang tinggi, terlepas dari ada atau tidaknya tendensi lain, beliau dengan ‘Patungan Netizen’-nya mengadakan penggalangan dana yang bertujuan untuk membantu ibu pemilik Warteg tersebut. Donasi ini, ungkapnya, bukan tentang politik, agama, atau apa pun. Hanyalah semata-mata rasa kemanusiaan yang tergerak ketika melihat sesama kita yang sedang kesusahan.

“Kalian harus pastikan bahwa kalian sedang berbagi karena kalian mencintai mereka. Setulus hati. Mencintai manusia lain.”

-Eyang Tulip (hlmn 167)

Dan responnya ternyata amat sangat tak terduga. Donasi sejumlah lebih dari 265 juta rupiah telah terkumpul, membuat saya percaya kalau rasa peduli dan ikhlas belum benar-benar ranap di bumi nusantara ini. Membuat saya yakin tiap-tiap yang berhati masih menggunakannya, tiap-tiap yang berakal masih menggunakannya.

Namun sayangnya, hujatan dan ketidakpuasan yang terkumpul jua tak kalah banyaknya. Sebagian berseru bahwa banyak yang lebih membutuhkan donasi serupa seperti korban erupsi gunung Sinabung di Sumatera Utara. Padahal saya yakin, kesusahan itu tidak pantas untuk dibanding-bandingkan. Yang membedakan hanya urgensinya saja.

Sebagian lain menggunakan fakta yang menyatakan bahwa Ibu Saeni sudah cukup kaya hingga tidak lagi membutuhkan sumbangan. Padahal, semengerti saya, tak ada larangan untuk bersedekah kepada siapa saja, ataupun membantu siapa saja. Tahu kisah seorang dermawan yang menyedekahi orang kaya, pelacur dan pencuri?

“Maafkan dirimu sendiri. Pandanglah masa lalu sebagai masa lalu. Jangan sesali hal-hal buruk yang pernah terjadi dalam hidupmu. Setiap gerak di alam semesta ini punya rahasia sendiri-sendiri. Sebab akibat itu saling terkait. Mengagumkan jika kita mau memikirkan masak-masak, bahwa takdir seseorang sebagai pembunuh di kota ini ternyata bisa membuat taubat seorang pelacur di kota seberang lautan. Saling berantai, saling terkait. Maka jangan pernah sesali hidupmu.”

-Eyang Tulip (hlmn 99)

Rasa bangga saya atas masih banyaknya orang-orang yang tak lupa untuk memanusiakan manusia, mendadak remuk sebab membeludaknya respon skeptis dan nyinyir yang keluar dari mulut-mulut yang entah mengerti atau tidak konsep kepedulian.

Negara ini sedang sakit menurut saya. Dan negara ini amat, sangat membutuhkan lebih banyak lagi seseorang yang ringan tangan seperti saudara Dwika Putra. Dan saya harap, bukan hanya saya saja yang mendamba suatu tatanan kehidupan penuh cinta. Utopia untuk kita semua.

“Semua ingin hidup senang. Semua harus bercita-cita hidup senang. Menjalani hidup dengan riang. Tapi ketika keadaan sudah susah, jangan egois. Kita harus punya semangat kebersamaan yang besar.”

-Izzat (hlmn 125)

Sedikit berbeda dengan sosok Dwika Putra yang memilih membantu menyembuhkan negeri ini dengan cara membangun kembali karakter bangsa yang gemar tolong-menolong, Izzat dalam novel Terlalu Cinta yang akan saya ulas memilih jalan mendirikan sebuah komunitas mengajar yang bertujuan mengubah mentalitas-mentalitas tidak sehat pada anak-anak yang kurang beruntung agar mereka tak lagi terbelenggu oleh sistem.

“Kami belajar arti kepedulian dan pengabdian, dan biarkan anak-anak yang kurang beruntung itu belajar bahwa keadaan mereka bukanlah sebuah takdir yang tidak bisa diutak-atik, melainkan sebuah kondisi yang lahir dari mentalitas-mentalitas yang tidak sehat, sistem yang membelenggu, dan budaya yang tidak baik.”

-Izzat (hlmn 17)

Berkisah tentang Izzat Sanubari, mahasiswa asal Lombok yang menempuh perkuliahan di Kota Bunga yang dingin, Malang. Kehidupan perkuliahan Izzat amatlah jauh dari titel ‘mahasiswa kupu-kupu’. Bukan ‘kupu-kupu malam’ jika itu yang kalian tangkap, namun ‘kuliah pulang-kuliah pulang’.

“…lihatlah teman-teman kita yang tidak berorganisasi. Mereka cuma kuliah, lalu pulang. Tak ada pengalaman berharga, dan sekilas tak peduli pada idealisme mahasiswa yang harus aktif berbuat sesuatu untuk bangsa. Apakah kita sudah merangkul mereka?”

-Izzat (hlmn 34)

Izzat yang aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, ditempa hingga menjadi pribadi yang kritis dan idealis, seseorang yang peduli juga kharismatik. Namun, hal itu tak serta-merta membuat sosok Izzat pantas dimahkotai gelar ‘sempurna’.

Hubungannya yang kandas di tengah jalan karena perkara jarak dengan Jannitha, kekasihnya sejak kelas 3 SMP, mampu menghasilkan impak yang sebegitu besar bagi seorang Izzat. Rasa takut yang dialami mantan kekasihnya itu menjelma sifat posesif dan ketidakyakinan, yang berujung menduanya salah satu hati. Pengkhianatan.

Sekali lagi saya tekankan kalau hal ini telah menjadi suatu impak yang amat, sangat besar. Pengkhianatan dari perempuan yang telah dikasihi lebih dari lima tahun mampu membuat Izzat yang bijaksana menjadi seorang penjahat wanita.

Ketika Izzat semakin tenggelam dalam rasa kecewa, Bandi menyelamatkannya. Peran Bandi di novel ini tak sekadar menjadi sahabat dekat Izzat, namun juga seseorang yang melengkapinya. Bukan… bukan… Lagi-lagi kalian salah. Tak pernah ada romantisme dalam hubungan Izzat-Bandi. Pun novel ini sama sekali tak menyinggung tentang homoseksual yang dewasa ini tengah viral isu-isunya.

“Izzat telah membaca banyak sekali buku dan piawai dalam perenungan. Bandi menyajikan pengalaman-pengalaman empiris dan tahu perkembangan situasi serta tempat-tempat yang unik. Izzat membutuhkan pengalaman beragam, Bandi mencari perenungan-perenungan. Mereka klop.”

(hlmn 156)

Seperti halnya sahabat sejati, Bandi tak pernah mau menggurui pun menceramahi. Ia hanya membawa Izzat ke sebuah panti asuhan dan memintanya untuk melampiaskan kekecewaannya dengan cara yang lebih arif, yang lebih tak menyakiti tiap-tiap yang berhati.

“Kamu seperti sandal hilang sebelah. Kamu kritis di berbagai diskusi, tapi mental kamu tak jauh berbeda dengan yang kamu kritik. Bukankah kamu bilang, seseorang yang tidak bisa konsisten untuk hal-hal kecil tak kan pernah bisa konsisten pada hal-hal yang besar?”

– Bandi (hlmn 40)

Dan dari sinilah segalanya bermula.

Izzat yang telah mendapatkan nuraninya kembali, memilih untuk terjun (lagi) ke dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan kepedulian yang sempat ia lupakan. Telah sejati bebas dirinya dari kungkungan kesumat atas terbitnya luka. Dan untuk kali ini, ia membawa hatinya.

Bersama Zaki dan Rustam, kawan berdiskusinya yang cenderung kiri, Izzat menggagaskan sebuah komunitas mengajar dengan konsep yang serba berbeda. Proyek akbar ini sebegitu menyita fokusnya, hingga mau tak mau Izzat sedikit lupa tentang rasa yang berdenyar-denyar sebab sesosok ‘wajah itu’.

‘Bahaya’ yang dirasa Izzat sebab ‘wajah itu’ menggiringnya kepada keputusan demi keputusan. Terus dan terus begitu. Hingga akhirnya, pada suatu titik, rasa keputusasaan menjejakkannya pada sebuah keadaan yang mengharuskan ia memutuskan segalanya; tentang rasa yang berdenyar-denyar sebab ‘wajah itu’.

“Kalau memang benar cinta. Walau berpisah. Pasti bertemu lagi.”

-Izzat (hlmn 312)

Tak pernah saya sebegini ingin membaca sebuah novel yang terbit melalui jalur indie. Semua karena testimonium yang keluar dari bibir (atau jari) Tiara Purnamasari, pemilik penerbitan indie Mazaya Publisihing House. Beliau banyak melukiskan bahwa novel Terlalu Cinta ini bagus sebagus-bagusnya, maka tak ayal saya pun penasaran; standar ‘bagus’ bagi sebuah penerbit indie itu seperti apa?

Dan ketika novel ini mendarat di gubuk saya yang tak seberapa, saya berusaha untuk tidak mematok pengharapan apa pun. Karena, siapa sih yang sedia tahan akan rasa kecewa? Namun, pada akhirnya, semua upaya saya untuk menahan segala dugaan dan pengharapan, hanya menjadi suatu kesia-siaan.

Sebab, novel ini aduhai kerennya.

Pada dasarnya, saya lebih memilih suatu konsep cerita yang sederhana namun eksekusinya bagus dan sempurna dibanding konsep yang sebegitu bagus dan menjanjikan namun eksekusinya amboi berantakan.

Dan Pelantan Lubuk, nama pena pengarang novel ini, memilih untuk sempurna dalam kesederhanaan.

Novel ini memperkenalkan saya dengan Izzat, lelaki yang menurut saya too good to be true. Saya diajak menyelami pemikiran-pemikiran Izzat yang kritis dan idealis, mengupas dari mana saja ia mendapatkan rasa peduli dan kasih sayang yang begitu besar, serta mengembara dalam seluk-beluk hatinya yang sedemikian kompleks ketika berhadapan dengan mukjizat tiap-tiap yang bernyawa; cinta.

Dan rasanya amat, sangat menyenangkan.

“Kalian tahu problem utama orang yang jatuh cinta? Mereka mendadak bego. Problem kedua orang yang jatuh cinta adalah, mereka mendadak rempong.”

(hlmn 56)

Diksi yang estestis serta nyastra membuat saya merasa kalau novel ini adalah novel yang ‘saya banget’. Kata demi kata dirangkai sebegitu rupa oleh penulis hingga terasa tebu dan nikmat dibaca. Pun alur campuran yang lebih banyak berisi kilas balik tentang jalan cerita Izzat dikemas seapik mungkin, serunut mungkin.

Tema yang diambil memang bukanlah hal yang baru; cinta. Namun, entah mengapa, mengurai satu hal yang sakral ini bagaikan mengupas kulit bawang. Seiring berjalannya waktu, lapisan demi lapisan itu mulai terbuka. Dan kau akan mengerti bahwa ada lebih banyak lapisan di dalamnya daripada yang kau kira.

Novel ini menyajikan cerita tentang cinta yang amat kurang ajar. Cinta yang hanya datang ketika tak ada yang menyambutnya. Cinta yang lalu pergi ketika sesiapa menginginkannya. Cinta yang ketika dikejar sekuat apa pun akan menjauh persis bayang-bayang.

Cinta yang traumatis.

Dan di tengah carut-marut kompleksitas tentang cinta, saya masih disuguhi kisah-kisah lain tentang persahabatan, persaingan, kepedulian, perjuangan, kasih sayang, kesungguhan hati, cita-cita, keikhlasan dan juga kepedihan.

Satu-satunya kekurangan yang ada dalam novel ini adalah penggunaan sudut pandang yang tidak konsisten dan banyaknya typo. Beberapa kali sudut pandang ketiga yang digunakan penulis tercampur dengan penggunaan kata ‘aku’ yang sejatinya digunakan untuk sudut pandang orang pertama. Pun typo serta penggunaan kata-kata yang tidak sesuai EYD (sekarang EBI) contohnya apapun yang seharusnya apa pun, handal yang seharusnya andal dan masih banyak lagi.

Namun tenang saja, pemilik Mazaya Publishing House yang juga selaku editor novel Terlalu Cinta ini telah menjanjikan adanya perbaikan di cetakan-cetakan mendatang. Hal yang sungguh menggembirakan.

Dan terakhir, jika penulis novel ini memilih gelar ’ciamik’ teruntuk mereka yang patut diberikan seratus jempol seperti Zaki dan Rustam, maka saya akan memilih gelar kebanggaan ala saya sendiri untuk penulis yang pantas diberikan seribu jempol atas keajaiban yang disuguhkan dalam novel ini; ‘aduhai’.

Dan novel yang ‘aduhai’ kerennya ini amatlah pantas mendapatkan…

Bintang 4

This book, somewhat somehow, amazingly fantastic.

Teruntuk Pelantan Lubuk, saya tunggu karya-karyamu selanjutnya, ya!

***

P.S.

Dikarenakan novel ini terbit secara indie, maka bagi kalian yang ingin memilikinya sila kunjungi laman Mazaya Publishing House di sini.