Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Keempat-‘Boyfriend’)

0

Empat kali empat sama dengan empat kuadrat

Sempat tidak sempat harus sempat menjalankan salat

(Pantun yang sudah lama ada di dalam kepala akhirnya keluar juga. Lega.)

Membaca empat cerita pertama ‘Two Weeks Stories’, karya para penulis yang tergabung pada kelompok menulis Kelompok Menulis, memberikan saya kesimpulan kalau komunitas ini terdiri dari penulis-penulis pemula yang baru terjun ke dalam dunia penulisan. Penulis-penulis pemula yang lupa kalau sebelum menjadi penulis mereka harus terlebih dahulu menjadi pembaca.

Cerita ‘Boyfriend’ karya Christin Lestari menunjukkan ketidakmatangan dalam menulis, serampangan dan abai terhadap kaidah penulisan yang baik dan benar, klise dalam menggali ide cerita, serta eksekusi yang cungguh cabar dan ceroboh.

Ingin rasanya menanyakan kepada para penulis ini buku apa saja yang sudah dibaca, berapa banyak, berapa yang diulas, berapa yang dijadikan kiblat dalam karir kepenulisan mereka. Karena sungguh, sebelum menjadi penulis mereka harus terlebih dahulu menjadi pembaca.

Ini bukan saya, lho, yang ngomong. Ini yang mbacot Tuanku Imam Besar Eka Kurniawan Yang Dipertuan Agung.

Christin Lestari mesti mencari tahu lebih lagi tentang penulisan kalimat langsung, penggunaan tanda baca, pemilihan diksi (dua kali kata ‘hirau’ muncul, yang mungkin maksudnya ‘abai’ atau ‘tidak peduli’ tetapi keliru diartikan ‘peduli’), logika cerita, plotting, dan muasih banyak lagi.

Namun, jangan patah semangat dulu, duhai Christin. Naskah ini memiliki apa yang tidak dimiliki tiga naskah sebelumnya; karakteristik. Meski samar, ia ada. Cara bercerita yang ceplas-ceplos, lucu, dan mengalir (ketika antek-antek Randi menggoda kedua tokoh utama, yang merupakan satu-satunya hal yang menghibur dari keseluruhan naskah ini) mengingatkan saya kepada buku ‘Marriagable’ karya Riri Sardjono, salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.

Teknik menulis dapat dipelajari, karakteristik bisa diasah, dan jalan masih panjang membentang. Jangan pernah merasa kenyang terhadap ilmu, saya tunggu karya-karyamu selanjutnya.

Yah… tentunya karya yang layak untuk dibaca.

Empat kali empat sama dengan empat kuadrat

Sempat tidak sempat harus sempat menjalankan salat

Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Ketiga-‘Hadiah Ulang Tahunku’)

0

Hari ketiga, cerita ketiga. Dihidangkan kisah rekaan Bernadetta Utomo berjudul ‘Hadiah Ulang Tahunku’. Lalu apa sih cerita yang bagus itu?

Pertanyaan ini sungguh subjektif, tidak ada jawaban yang pasti benar atau pasti salah. Setiap orang memiliki cara pandangnya sendiri, nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, dan lingkungan yang membentuk mereka menjadi mereka. Bisa saja cerita-cerita tentang kaum marjinal seperti LGBT dibenci oleh mereka yang konservatif. Lalu kisah-kisah tentang surga dan neraka tak lagi relevan bagi mereka yang dahriah. Karya anggitan people of color tak masuk ke logika white supremacist. Orang miskin tak mengenal Bvlgari, Dior, Benz, Fendi yang kerap muncul pada lakon-lakon orang kaya.

Oleh sebab itu menilai sebuah karya bagus atau tidak sungguhlah sia-sia.

Dan tabiat manusia; gemar melakukan kesia-siaan.

Cerita ini kunilai decent; muluk-muluk bila dikatakan bagus, tak bestari bila dikatakan jelek. Dibandingkan dua karya sebelumnya, Bernadetta menulis dengan lebih tertata dibanding Akhita (meski masih kebingungan mana di- yang dipisah dan disambung, juga soal pemilihan kata yang lumayan repetitif), tetapi tokoh-tokohnya bertindak seperti kekurangan motivasi, tidak sebagaimana yang ditunjukkan oleh karakter-karakter dalam cerita Aisyah.

Cerita pendek yang bagus menurutku sangat bergantung pada bagaimana cara eksekusinya. Ide boleh sederhana, absurd bahkan. Tetapi jika eksekusinya apik dan kirana, maka pembaca tentu takkan dibuat kecewa.

Cerita ini memiliki ide yang terlalu sederhana dan eksekusi yang segitu saja. Seperti membaca diari Nena yang kepalang kesengsem dengan Surya, dan kecewa kenapa sih Babang Surya tidak ngucapin met ultah ke aq huhuhu :”(

Kemudian, pertanyaan yang muncul setelah pertanyaan, bagaimana cara mengeksekusi cerita yang apik?

Pertanyaan ini sungguh subjektif, tidak ada jawaban yang pasti benar atau pasti salah. Setiap orang memiliki cara pandangnya sendiri, nilai-nilai yang mereka junjung tinggi, dan lingkungan yang membentuk mereka menjadi mereka.

Nena yang tengah menunggu pesan dari Babang Surya
Kolase olehku sendiri

Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Kedua-‘Surat Tersirat Malam Fantasi Kania’)

0

Hari kedua di “Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya”, aku sebagai pembaca disuguhkan sebuah kisah anggitan Akhita Yuam Mahardika berjudul Surat Tersirat Malam Fantasi Kania.

Kisah ini lumayan panjang, perlu waktu lebih-kurang dua puluh menit untuk menyelesaikannya. Menulis cerita pendek yang agak panjang dan tetap bagus memang agak tricky. Pertama, orang-orang yang niatnya membaca cerita pendek tentu mengharapkan cerita yang habis sekali duduk. Disuguhkan tulisan sepanjang dua puluh menit padahal waktu yang kita butuhkan untuk buang air (misalnya) hanya lima menit tentu akan menimbulkan dilema; berhenti membaca atau rela berlama-lama jongkok dan membiarkan kotoran kering.

Aku mengambil pilihan ketiga; membaca skimming.

Sedari awal penulis kurang memikat dalam membuka cerita. Pembaca dibiarkan buta dan meraba-raba mau ke mana arah cerita. Hal-hal penting tak penting (yang menurutku kebanyakan tak pentingnya) diangkat hingga cerita melebar. Mari kurangkum: ibu membangunkan Kania, Kania menolak bangun, Kania akhirnya bangun, Kania mandi, water heater Kania rusak, Kania meminta ayah untuk memperbaiki water heater, Kania kembali mandi, ayah memasak, Kania sekeluarga sarapan, Kania berangkat sekolah, Kania pamit ke ayahnya, Kania bertemu teman-temannya, Kania sungguh pribadi yang bertele-tele, pasti itu penyebab dia dirundung teman-temannya.

Sampai sini pembaca masih tidak tahu apa tujuan Heroine sebenarnya. Dan sumpah, rasanya pegal, ditambah kesalahan pengetikan dan tata bahasa yang hampir ada di setiap kalimat.

Itu alasan kedua mengapa mencipta cerita pendek yang panjang sangat tricky, kalau memang terpaksa harus membuat cerita pendek yang panjang, buat sebagus mungkin, serapi mungkin, hingga pembaca yang niatnya membaca sekali duduk rela berlama-lama jongkok sampai-sampai kotoran mengering.

Yang paling membuat kening berkerut dan alis menyatu adalah eksekusi penulis pada akhir tulisan. Apakah penulis sengaja membuat loop ending? Akhiran yang berulang-ulang? Kalau salah, silakan panitia memperbaiki cerita ini karena sepertinya bagian akhirnya hilang (atau tertimpa hasil copy-paste bagian lain).

Kalau benar, maka menurutku sebagai pembaca, penulis sama sekali tidak berhasil. Yang kulihat dan kudapat hanyalah cerita linglung tersesat dalam belantara pilihan dan pada akhirnya mati mengenaskan tanpa pernah melihat jalan masuk atau jalan keluar lagi.

Sampai sini, aku benar-benar mematikan harapanku untuk cerita selanjutnya.

Karena sama sekali tidak ada yang bisa kuinterpretasikan dari cerita ini, maka akan kupakai saja koleksi kolase lamaku. Ehe.

Membaca Kelompok Menulis; Lomba dan Cerita-Cerita yang Lahir Karenanya (Cerita Pertama-‘Malice’)

0

Paruh akhir Juli kemarin, Kelompok Menulis, sebuah komunitas menulis yang eksis di LINE OpenChat, menyelenggarakan lomba menulis cerita pendek. Entah dari berapa banyak naskah masuk, hingga akhirnya delapan cerita terbit secara daring di platform baca-tulis Wattpad. Para pembaca, termasuk aku, diajak untuk mengulas cerita-cerita yang terhimpun dalam buku berjudul ‘Two Weeks Stories’.

Selalu menyenangkan membaca kisah-kisah yang disabung oleh para penceritanya. Bayangkan Gladiator dari tiap penjuru dunia, dihimpun dalam Colosseum, mereka dengan kemampuannya masing-masing menaruh lehernya di mata pedang, saling tebas, saling sikat, saling unjuk kebolehan, demi satu titel; pemenang.

Dan para penonton menjerit-jerit liar, lebih dan lebih haus darah. Meski tentu aku hanya sedikit melebih-lebihkan.

Cerita pertama yang disajikan berjudul ‘Malice’ oleh Aisyah Adinda. Kemudian, teman-teman Kelompok Menulis, perkenankan aku untuk mengomentari cerita ini.

“Pasal 286. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Aku menyukai cerita dengan twisted ending seperti ini, karena membuat cerita dengan teknik ini sungguh sangat, sangat sulit. Aku sendiri perlu waktu tiga tahun untuk mengasah kemampuanku membuat puntiran pada akhir cerita, dan kurasa dengan waktu selama itu pun ternyata masih belum memadai.

Eksekusi yang Aisyah berikan pada cerita ini menurutku cukup. Ide cerita luar biasa, penceritaan lumayan mengalir, meskipun ada beberapa kesalahan penulisan -ku -mu -lah yang seharusnya digabung tetapi keliru malah dipisah.

Masalah hadir pada akhir cerita atau puncak konflik: pembaca kebingungan.

Atau hanya aku saja yang kebingungan?

Cerita mengacu pada latar belakang Jane, kemampuannya, keinginannya, kekhawatirannya, perbuatannya, dan pada akhirnya, tendensi pada semua perangainya.

Diakhiri dengan Nisa yang diberi obat tidur, pun tiga angka yang berkedip-kedip di atas kepalanya, aku mengambil kesimpulan kalau Jane sebenarnya hendak memerkosa Nisa, dan untuk itu ia tega mendorong Farhan jatuh dari puncak tangga.

Yang sebenarnya puntiran yang luar biasa kalau saja pembaca tak dibiarkan terkecoh/sengaja dibodoh-bodohi.

Membuat puntiran di akhir tak serta merta seperti membengkokkan besi; dilakukan begitu saja. Membuat puntiran ada seninya. Kalau hanya dibekukkan begitu saja, logika pembaca akan patah. Aku sendiri selalu diwanti-wanti untuk menaruh keping-keping puzzle, petunjuk-petunjuk samar, agar puntiran di akhir tak terkesan jedar-jeder. Dan di cerita ini sama sekali tak ada keping atau petunjuk yang kumaksud.

Oke, di awal Jane menyatakan kalau ia ‘menyukai’ anak-anak. Tetapi ‘suka’ memiliki arti yang luas. Jadi, mari kubantu; bagaimana kalau kalimat ini:

Hidup dikelilingi manusia-manusia kecil tanpa dosa barulah definisi hidup yang menyenangkan bagiku.

Dibuat seperti ini:

Hidup dikelilingi manusia-manusia kecil tanpa dosa barulah definisi hidup yang menggairahkan bagiku.

Atau kalau ingin lebih halus lagi:

Hidup dikelilingi manusia-manusia kecil tanpa dosa barulah definisi hidup yang mendebarkan bagiku.

Itu baru satu dari beberapa hal yang membuat eksekusi puntiran di akhir terkesan tidak masuk akal. Hal lain seperti motif Farhan untuk membunuh jua masih belum diketahui. Apakah nantinya Farhan membunuh Jane karena Jane ketahuan memerkosa Nisa? Lalu apa maksud ‘Malice’ pada judul yang berkaitan erat dengan cerita?

Pun pasal 286 (kalau memang ini benar pasal yang dimaksud, kalau salah maka semua omonganku hanya akan jadi kata-kata nirmakna) tidak cocok untuk dijatuhi kepada Jane. Pemerkosaan tentu beda dengan pencabulan.

Sebagai cerita pembuka, Malice mengatak ekspektasi pembaca tidak rendah, namun juga tidak tinggi.

Kolase yang kubuat hasil interpretasi cerita ‘Malice’ karya Aisyah Adinda

Review: My Real Boy

0

IMG_20190602_155401-3.jpeg

My Real Boy

Penulis: Ansar Siri

Editor: Redy Kuswanto

Setting & Layout: Rio

Desain Sampul: Tim Redaksi BUPINDO

Penerbit: PT Buku Pintar Indonesia

ISBN 10: 602-5849-21-8

ISBN 13: 978-602-5849-21-3

Cetakan: I (Agustus 2018)

Jumlah Halaman: 221 hlmn

*

ᴥBlurb ᴥ

“Gue jatuh cinta sama puisi lo, tapi belum tentu sama lo.”

-Alea

“Lo nggak salah. Gue yang harus berjuang lebih keras lagi demi bisa dekat sama lo.”

-Gilang

Setelah berhasil menyedot perhatian pengguna Wattpad dan puisi-puisinya diterbitkan oleh penerbit ternama, sosok Gilang Rendra menjadi idola baru. Ia digandrungi cewek-cewek yang memiliki hobi membaca seperti Alea.

Kendati demikian, Alea tak pernah menaruh perhatian khusus pada pesona Gilang. Baginya, cowok sekeren aktor Korea itu hanya sebatas pencipta puisi-puisi yang disukainya. Gilang dan puisi hanya perpaduan yang kebetulan.

Tetapi, bagaimana jika mereka tiba-tiba berada di sekolah yang sama? Jika Alea menjalani hari-hari bersama cowok sekeren Gilang, masihkah ia mampu bersikap biasa? Alea tahu, Gilang begitu digilai oleh teman sebangkunya. Lalu, bagaimana jika benih cinta justru tumbuh dari hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya?

*

Butuh setengah jam bagiku memikirkan bagaimana cara paling baik untuk memulai ulasan ini: Apakah dari kesegaran ceritanya? Kelincahan bahasa? Karakterisasi? Eksekusi plot? Kematangan permainan emosi? Budaya dan moralitas yang diusung? Atau sekadar pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkankah yang kurasakan usai membaca kisah Alea, sang tokoh utama?

Atau kumulai saja dari hal-hal yang amat kubenci? Maksudku, pada kenyataannya banyak hal yang kubenci ternyata lebih melekat dan lebih mudah kuingat daripada hal-hal yang kucintai. Sebut saja drama perbucinan Rea-Salsabaila-Novemberpapa, atau sidang MK, atau perusahaan tempatku bekerja yang tak membiarkanku mendapatkan upah yang pantas dan sahaja, atau naskah Wattpad-ku yang tak jua bisa kulanjutkan, atau asam lambung, atau leukemia yang menggerogoti tubuh Ayah, atau truk ayam, atau kemacetan, atau selebtweet yang runsing sekali pada orang-orang yang lebih memilih mencuci titit. Terus dan akan terus bertambah daftar kebencian itu. Terus dan akan terus bertambah. Termasuk betapa bencinya aku ketika melihat novel bagus tetapi memiliki sampul subal begini.

Maksudku, sungguh, apakah tidak ada desain lain yang lebih molek atau lebih necis atau lebih elok untuk cerita sebagus ini? Apakah penulis dan desainer tak pernah mendengar ‘Mozachiko’, ‘Athlas’, atau ‘Dignitate’? Bagaimana mungkin mereka melewatkan  @nono.radke @sivan.ka dan @snzhkr?

I mean, we live in a society that will post literally everything to our social media, and you (yes, you, the writer and the designer team) have the audacity to give us this mediocre lil’… thing? Well, we will not have that. I will not have THAT.

Sebuah buku yang telah dicetak dan didistribusikan seharusnya merupakan paket komplit, dan kover adalah salah satu (jika tak bisa dibilang ‘paling’) hal yang substansial dalam menjamin ‘kelengkapan’ buku tersebut. Dilansir dari www.thebooksmuggler.com sebanyak 482 dari total 616 panelis menyatakan bahwa kover adalah hal yang krusial bagi mereka dalam memutuskan membeli atau tidak membeli sebuah buku. Terlepas dari keabsahan survei tersebut, besar sekali harapanku agar kover novel ‘My Real Boy’ ini dapat diganti pada cetak ulang selanjutnya karena agar supaya.

Kemudian betapa benar apa kata Martin Luther King Jr., “Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.”

Kebencian itu begitu besar dan benar, seolah-olah akan tetap dan bertahan sampai nabi-nabi terlahir kembali. Tetapi manusia adalah wadah bagi perangai dan polah yang salah, tak sampai tiga halaman dibalik, Alea dan kawan-kawan menunjukkan kalau mereka lebih pantas untuk dicintai.

Kerusuhan Delon di awal cerita ditengarai karena usahanya membagi-bagikan pamflet Meet and Greet Gilang Rendra—sepupunya sekaligus penulis puisi—tidak berjalan baik. Meet and Greet yang mati-matian diiklankan Delon itu adalah kegiatan sua dan sapa pertama sekaligus bentuk promosi untuk buku kumpulan puisi terbarunya Gilang. Buku kumpulan puisi tersebut terdiri dari puisi-puisi Gilang yang awalnya hanya diunggah di Wattpad, salah satu platform menulis di internet. Karena penerimaan atas puisi-puisi itu begitu menggembirakan, mereka dilirik oleh salah satu penerbit untuk diterbitkan, yang mana merupakan kabar baik bagi Alea, teman dekat Delon pun fans berat puisi-puisi Gilang.

Alea sang tokoh utama memang seorang kutu buku. Kekutubukuannya ini bahkan mampu menjadikannya seorang bookstagrammer (pengguna Instagram yang banyak berbagi tentang buku) yang dipercaya beberapa penerbit. Tugas Alea adalah mengulas isi novel dan mengunggah hasil ulasan sebagai salah satu jalur promosi bagi pengarang dan bukunya. Alea begitu baik dalam hal ini, sampai-sampai Gilang memberikannya julukan ‘Bookstagrammer Kece’.

Meet and Greet itu bisa dibilang adalah awal dari segala kusut kelindan romansa yang dialami tokoh utama di masa depan. Karena kuis kecil, sebuah tes bagi para penggemar sejati puisi-puisi Gilang, Alea dan Gilang menjadi dekat dan semakin dekat. Entah nyata atau bukan, murni atau tidak, sesuatu yang pelan-pelan disodorkan Gilang kepada Alea mulai membuat perasaan gadis bergigi gingsul itu tak keru-keruan.

Belum jelas apa yang hendak Alea lakukan pada kepala dan isi hatinya, masalah datang silih berganti. Ratih, teman sebangku sekaligus sahabat dekat Alea di SMA, cemburu karena Gilang perhatian dan hanya perhatian kepada Alea. Pertemanan yang sudah terjalin selama hampir tiga tahun itu terancam lumat hanya karena perkara lelaki. Belum lagi Aira, perempuan yang teramat mencintai Gilang tiba-tiba datang dan melabrak Alea. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada Delon?

Yang paling menjungkirbalikkan dunia Alea adalah kehadiran kembali Sekar usai segala yang telah ia lakukan. Usai dosa paling dosa itu. Usai ranap hati dan sakitnya dikhianati. Usai sampai hati seorang ibu tega membuang darah dagingnya sendiri.

Perasaan-perasaan yang banyak dan menyedihkan itu bergulung-gulung di hati, di kepala, di tulang sumsumnya. Bagaimana mungkin seorang remaja mampu menahan semua luapan emosi sedemikian hebat? Tuhan mana yang tega? Yang sampai hati?

Mungkin, dan hanya mungkin, kewarasan tak mudah tanggal bagi Alea sebab mainan, mobil-mobilan merah miliknya. Mungkin, dan hanya mungkin, kenangan-kenangan baik yang lekat pada mobil-mobilan itu adalah segala baginya untuk tetap bertahan.

Satu hal yang menarik hati adalah penulis, Daeng Ansar, telah mampu mencapai salah satu tahap dalam dunia kepenulisan (yang entah ada berapa banyaknya) yaitu ‘kecakapan menyampaikan gagasan’. Tak peduli besar atau kecil, gagasan tetaplah gagasan yang boleh jadi mampu memberikan impak pada mereka yang tengah mencarinya.

“Dari sini gue belajar, bahwa cinta tak melulu diawali getar aneh atau hal lain yang sering dibicarakan orang. Tapi pada kasus tertentu, ia malah tumbuh pelan-pelan dalam kenyamanan.”

-Alea

Perkara cinta takkan pernah habis dikulik. Dikisahkan lagi dan lagi dan lagi dan lagi. Begitu terus sampai entah kapan. Mulai dari tragisnya hikayat Zainudin-Hayati dalam ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ sampai cerita canggih superkekinian lengkap dengan akrobatik bahasa enggres oleh Haris-Keara-Risjad dalam ‘Antologi Rasa’. Penulis tak membawa kebaruan, namun piawai membalutnya dengan kepadupadanan. Cerita cinta khas anak sekolahan, ditambah cukup unsur famili, sedikit pepuisi dan budaya—baik progresif dan konservatif, semua lengkap! Pokoknya tak melulu cinta dan pacaran.

Mungkin hal ini dan juga kelihaian Daeng Ansar meramu plot yang membuatku tak jemu menamatkan kisah Alea. Semua petunjuk bak kepingan puzzle yang tahu diri untuk tak tergesa-gesa menyingkap segala sesuatunya. Emosi naik-turun dengan menyenangkan setelah lapis demi lapis disodorkan halaman-halaman yang menguak kebenaran demi kebenaran. Dan akhir kisah mereka… alahai.

Meski tak memiliki puntiran cerita (karena tak semua cerita harus berakhir dengan twisted ending, bukan?), kemahiran Daeng dalam membuat karakterisasi adalah sebuah pencapaian tersendiri. Tokoh Alea, Gilang, Ratih, Delon, apalagi Rahma dan Hadi sudah dibuat seotentik mungkin, dieksekusi semenarik mungkin. Inilah hal yang paling aku cintai dari banyak hal yang aku cintai pada buku ini. Salut untuk Daeng karena telah menapaki level yang lebih tinggi lagi. Hampir tak ada karakter yang sia-sia atau dibuat setengah jadi kalau tak bisa dibilang setengah hati (uhuk Aira dan keluarganya.)

Di kisah ini aku bisa dengan mudah membayangkan Alea tengah memainkan mobil-mobilan merahnya, pipi ditopang lengan, di hadapannya tumpukan buku dan laptop yang menyala, sedang kesedihan dan riak masa lalu bergulung-gulung di langit-langit. Kemudian datanglah Ratih, Rahma, dan Hadi, yang otaknya setengah, yang sanggup memeriahkan kehidupan gadis introver satu itu. Gilang turut serta dengan gombalan-gombalan dan perasannya, Delon dengan kebaikan dan ketulusan hatinya. Meski begitu, vibran getir dan murung yang likat di buku ini tetap terjaga sedari awal. Salut untuk kesekian kali.

Oh, ya, ‘daeng’ yang kugunakan berkali-kali tadi adalah sebuah sebutan kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan. Sifatnya sama dengan kata ‘mas’ bagi orang Jawa atau ‘akang’ bagi orang Sunda. Daeng sebagai panggilan kepada orang yang lebih tua dipergunakan merata kepada pria ataupun wanita di Makassar. Oleh karenanya, tak perlulah bagiku untuk terheran-heran dengan kelincahan penulis dalam berbahasa dan berkata-kata.

Akhir kata: buku ini bisa dibilang paket lengkap. Cocok betul untuk dibaca para remaja yang tengah mengalami krisis bacaan bermutu (di mana lebih banyak cerita ngewa-ngewi dibanding jumlah bintang di langit oke hiperbolis tapi kamu tahu apa yang aku maksud). Cocok juga dibaca bagi mereka yang mencari bacaan-sekali-duduk. Atau mungkin sebagai referensi teknik dasar-dasar menulis cerita panjang. Buku ini punya segala dan pantas mendapatkan lima dari lima bintang yang aku punya.

Bintang 5

Lalu kamu mesti berhenti membaca di sini kalau tak mau kubocorkan hal-hal penting-tidak penting perihal buku ini. Tentang cacat (?) logika dan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan. Hanya sedikit, tenang saja, dan bukanlah perkara yang mayor yang akan mengganggu kenikmatan atau perjalanan membaca kamu.

*Spoiler Alert!*

Hal pertama, dan kuingatkan sekali lagi kalau kamu akan membaca sedikit spoiler tentang buku ini, adalah runutan waktu cerita dan/atau kesalahan berpikir pada diri Sekar, ibu kandung Alea. Alea dibuang sewaktu kecil dengan alasan ‘Sekar tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan Alea’. Ke mana perginya ayah kandung Alea? Itu lain hal. Kamu hanya perlu tahu bahwa kemiskinan memaksa Sekar menelantarkan anaknya sendiri. Mari kita berandai-andai bahwa Alea berumur lima tahun saat itu, dan latar waktu di dalam buku ini adalah ketika Alea berada di kelas dua belas. Tiga belas tahun berlalu tanpa Alea pernah tahu mengapa ia dibuang, lalu sekonyong-konyong ini perempuan mengaku-ngaku kalau Alea adalah anaknya. Otak kamu di mana, hei, Sekar?!

Pembelaan-pembelaan beliau pun dapat dengan mudah terbantahkan. Apalagi ketika mendengar kisah hidupnya sendiri yang dengan singkat dapat diceritakan seperti ini: Sekar diangkat menjadi pembantu oleh ayahnya Aira, kemudian sah menjadi istri kedua setelah ibu kandung Aira meninggal. Sampai di sini harusnya Sekar segera mengambil kembali Alea, bukan? Maksudku, pekerjaan beliau yang sebagai pembantu pun sudah cukup layak untuk sekadar mengurus anak, apalagi dengan majikan baik hati seperti ayahnya Aira. Tetapi dia lebih memilih tetap menelantarkan anak kandungnya sendiri dan (meski dibahas sedikit kalau tidurnya tak pernah nyenyak dan ‘butuh waktu untuk menyiapkan segalanya’) malah asik-asikan menjadi istri orang kaya. Pun walau kaubilang tidurmu tak pernah nyenyak, sumpah demi Tuhan, kau masih tidur di atas kasur yang empuk dan hangat.

Shame on you, Sekar. You didn’t deserve any apology. Go to your grave with that so called grief.

Kedua: perubahan gender dan/atau orientasi seksual papa Gilang. Sebelum terkenal seperti sekarang, Gilang adalah seorang pemuda urakan yang hobinya tawuran karena kehilangan tempat untuk pulang. Papa dan Mamanya cerai, hingga rumah tak sehangat dulu. Kekecewaan-kekecewaan itu yang membuat Gilang kerap mencari pelampiasan. Apalagi ketika melihat papanya mulai gemulai dan bertingkah kemayu sampai memiliki pasangan lelaki.

Perubahan papa Gilang setelah perceraian itu masih bisa diterima logika. Bisa saja dia adalah seorang gay yang closet, yang merepresi jati dirinya sendiri demi diterima kultur dan masyarakat, sampai akhirnya ketika beliau menerima kebebasan, maka berbuatlah dia sebebas-bebasnya: berdandan seperti perempuan, membuka butik yang diidam-idamkan, hingga mengganti namanya dari Bondan menjadi Bonita.

Tapi di akhir nanti, entah bagaimana caranya, Bonita kembali menjadi Bondan dan akhirnya menikah lagi dengan wanita. Maksudku, ini serius, nih? Hanya karena Gilang berhasil ‘menyembuhkan’ papanya? ‘Menyembuhkan’ bagaimana maksudnya?

Saya bisa menulis lima ribu kata lagi, mengutip sana-sini, menjelaskan perkara seks dan gender, lalu menampikkan segala kemustahilan logika yang penulis coba sodorkan. Namun, poinnya adalah: gender tak semudah kau membagi toilet umum menjadi khusus pria dan wanita, lebih menyerupai spektrum warna yang luas dan jamak, juga orientasi seksual manusia tak berubah-ubah segampang ganti celana dalam. Bahkan, jika ditilik secara akademis, menjadi seorang homoseksual bukanlah sebuah penyimpangan apalagi penyakit. Jadi ‘menyembuhkan’ di dalam buku ini hilang maknanya.

Dua di atas adalah hal yang paling mengganggu pengalaman membaca saya. Meski begitu, taklah sampai membuat saya kemudian tak lagi bisa menikmati novel anggitan daeng Ansar ini. Novel ini mempunyai kedalaman dan memiliki ikatan batin tersendiri dengan saya sebagai pembacanya. Serta taklah mengada-ada untuk menyebut buku ini ‘buku-beliau-yang-paling-baik-yang-aku-baca’. Sehat sukses selalu, Daeng!

Review: Lelaki Terindah

4

wp-1541296201761..jpg

Lelaki Terindah

Penulis: Andrei Aksana

Editor: Hetih Rusli

Setter: Anna Evita

Desain Sampul: Marcel A. W.

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 978-602-03-1817-2

Cetakan: VII (Juni 2017)

Jumlah Halaman: 224 hlmn

*

ᴥBlurb ᴥ

Suatu ketika dulu

Aku pernah dihanyut asmara

 

Tapi tak pernah ku tenggelam

Karena kekuatan cintamu

Menjadi perahu dan dayungku

 

Hanya engkaulah yang mampu

Melenyapkan ragu menjadi tahu

Memupuskan kelu menjad deru

 

Hanya engkaulah yang bisa

Menggantikan tawar menjadi rasa

Menghadirkan tiada menjadi ada

 

Karena hanya engkaulah…

 

Lelaki terindah di hidupku…

*

Cerita dimulai dengan satu sajak pendek—sajak-sajak yang akan selalu ada di tiap-tiap halamannya. Sebagian memilin hati, sebagian yang lain terasa terlalu FTV.

Sudah kualami perih karena kehilangan

Sudah kureguk kecewa karena ditinggalkan

Sudah ku didera luka karena dikhianati

 

Semuanya belum seberapa

 

Hanya ada satu derita yang paling menyiksa

Jatuh cinta

Tapi tak bisa memiliki

Rafky tergesa-gesa menghadang Aku di koridor kedatangan internasional di bandara. Seperti meteor ia melesat. Angin kalah cepat dengan ayunan kakinya. Dengan napas satu-satu, ia memohon kepada Aku, “Tolong… Hanya kau yang bisa menuliskan kisah ini. Hanya kau yang bisa membuat kisah cinta ini mengharukan… bukan kisah cinta yang disisihkan, dicela, dicemooh.”

Aku tergetar hatinya. Kisah cinta macam apa yang sebenarnya Rafky maksud? Yang pemuda rupawan, berhidung mancung, dan berperawakan tinggi besar ini ingin Aku tuliskan?

“Aku mencintai seorang laki-laki,” sahutnya pedih.

Aku tercengang, tertampar kata-kata. Aku menolak menuliskan kisah ini. Aku tidak akan pernah menuliskan cerita ini. Tidak akan pernah.

Tapi perasaan apa yang mengejar-ngejar Aku? Yang membuat batin Aku tersiksa? Gelisah? Gundah gulana sampai berhari? Berminggu? Berbulan? Lama sekali? Sampai-sampai tiap-tiap malam Aku sulit memejamkan mata?

Seperti dikejar bayang-bayang

Meski tak melakukan kesalahan apa-apa

Mengapa kebenaran justru membuat kita

selalu merasa tersiksa?

Barangkali karena kebenaran telah lama terpenjara…

Sanggupkah Aku menuangkan kisah cinta yang disingkirkan masyarakat? Kisah cinta yang sebenarnya terjadi, tapi selalu diingkari? Haruskah Aku juga bersikap kejam? Sama seperti yang lain? Haruskah Aku menghakimi cinta seperti ini?

Lalu Aku membuka layar laptop.

Dan mulai mengetik.

Dan merasakan air mata meleleh.

Kalau saja Rafky membiarkan dirinya ketinggalan pesawat, mungkin cerita ini takkan pernah benar-benar ada. Kalau saja mbak-mbak penjaga konter penerbangan menuju Thailand itu benar mengikuti prosedur, dan berkeras meminta Rafky untuk naik penerbangan selanjutnya, mungkin segala yang terjadi di antara Valent dan Rafky takkan pernah menjadi nyata. Kalau saja segala ‘kalau’ tadi benar terjadi, maka tak perlu ada hati yang tersakiti.

Tetapi bukankah manusia memang senang berkalau-kalau? Kerap kali menginginkan untuk berputar balik dalam kehidupan, kemudian memilih jalan yang lain, pilihan yang lain, kesempatan yang lain?

Begitulah kisah Rafky dan Valent bermula; pertemuan di pesawat mempersatukan mereka. Ada sesuatu dalam diri mereka masing-masing yang saling tarik-menarik, ikat-mengikat. Valent bagi Rafky adalah permata yang mudah pecah, bidadari musim semi, dua dimensi yang saling memagut, berporos ke dalam keselarasan. Laki-laki dan perempuan. Gagah sekaligus lembut.

Sedangkan Rafky bagi Valent adalah benteng kokoh, dermaga solid tempat bersandarnya segala kebimbangan.

Meski begitu Rafky tak langsung menerima keganjilan ini. Bertahun-tahun menjadi pecinta dan pemain wanita, logikanya menolak untuk jatuh ke dalam pesona Valent, meski hatinya berkata lain. Namun, persis aspal jalanan yang tergerus banjir di musim hujan, logika itu terkikis dan mulai lebur. Hatinya lebih vokal berdebar, dibanding kepala yang mencoba ingkar. Negara Gajah Putih ini menjadi jambangan tempat seluruh kelopak perasaan terhimpun, merekahkan getar yang tak pernah mati. Dari Ayutthaya ke Thon Buri. Festival Loy Krathong sampai The Golden Mount. Grand Palace hingga Lumpini Park, tempat monumen Patung Raja Rama VI berada.

Setiap sudut kota ini

adalah syair yang direntangkan

sepanjang itu kita tulis

 

Tak pernah sempat dibaca

Selalu saja ada kata dan kalimat baru

setiap kali kita ingin berhenti

Sedikit demi sedikit rasa itu tumbuh dalam tubuh, bertambah dalam tabah. Hingga ketika kembali ke tanah air, mereka merawat pohon perasaan itu diam-diam, sembunyi-sembunyi, sebab kekasih dan orang tua masing-masing yang tak mungkin bisa mengerti.

Dan di titik ini, hanya kesedihan demi kesedihan yang Aku mampu tuliskan. Sampai nanti, sampai salah satu dari mereka pergi dan takkan pernah bisa kembali.

*

Ada perasaan yang meledak-ledak ketika membaca buku ini. Buku yang lebih dari sekadar bagus. Buku yang kubayangkan akan dapat kutulis di masa yang akan datang. Membaca buku ini seperti melihat tulisan-tulisan yang ingin kutulisi di masa depan. Gabungan antara puisi atau sajak dengan prosa-prosa pendek, cerita unik dengan penceritaan otentik, diksi yang matang yang mampu menunjukkan di mana kelas sang pengarang.

Tentu aku menempatkan diriku tak murni sebagai pembaca, tapi juga sebagai penulis. Dan buku ini membuatku orgasme sebagai keduanya. Tekniknya memikat, apa yang disajikannya memukat.

Mengapa kita menghitung

Ringan atau berat

Kecil atau besar

Sedikit atau banyak

 

Kekecewaan kerap membuat kita menjadi pedagang

Menjual hidup kita sendiri

“Sastra berfungsi sebagai pencatat zaman. Demikian pula dengan Lelaki Terindah. Novel ini tak hanya menjadi semacam catatan tentang dua lelaki yang saling mencari dan mempertanyakan arti cinta dalam realitas kehidupan, tetapi juga membicarakan simbol-simbol dalam keterkekangan.” (Hetih Rusli dalam Lelaki Terindah, Pengantar Terbitan 11 Tahun)

Mbak Hetih juga berkata kalau buku ini telah menjadi tonggak literatur gay di Indonesia selama satu dekade. Yang pernyataan itu kemudian melahirkan pertanyaan yang lain; tonggak apa? Literatur gay yang mana? Memangnya ada?

Selama bertahun-tahun aku membaca, aku baru menemukan tiga buku yang benar menyorot kehidupan kelompok terpinggirkan ini: Cokelat Stroberi; Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; lalu terakhir Lelaki Terindah. Shit Happens, anggitan Christian Simamora, tak masuk hitungan karena kupikir homoseksualitas di dalamnya tak terlalu sentral dan diutamakan, ia berbaur dengan cerita lain yang lebih konservatif.

Lalu adikarya Andrei Aksana ini sebenarnya menonggaki apa? Literatur gay yang mana?

Mungkin pertanyaan ini harus kita gaungkan dalam kepala masing-masing; benarkah cerita-cerita sejenis kurang mampu diterima nalar dan pasar di negeri ini, hingga sedikit penulis yang mau menuangkannya dalam kata-kata? Sudah bebaskah kita sebenarnya dalam berpendapat, dalam mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri, jika masih saja ada pihak-pihak yang represif terhadap apa yang kita punya dan kita kemukakan?

Mungkin betul apa yang mereka bilang; kebenaran hanya milik sebagian orang.

Dan ketelanjangan menjadi sia-si

Padahal telah dipertaruhkan

di atas harapan dan pengorbanan

Dan menurut aku pribadi, riuh rendah sastra dalam negeri perlu disemarakkan lagi oleh buku-buku seperti ini! Selamat merayakan kata-kata!

Bintang 5

Review: Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

0

Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

Penulis: Pringadi A. Surya

Penyunting: Dian Dwi Anisa

Pemeriksa aksara: Maria Puspitasari

Penata letak: Randy Arba Pahlevi

Desainer kover: Nugroho Daru Cahyono

Penerbit: Indie Book Corner

Cetakan: I (2017)

Jumlah halaman: 114 hlmn

*

ᴥ Blurb ᴥ

Ahasveros, seorang raja Persia, dalam kitab Ezra disebut rela meninggalkan takhtanya untuk mencari sesuatu. Ia tidak tahu apa yang dicarinya, bahkan sampai ia mati, membusuk, hancur tulang-tulangnya.

Setelah mati, apa yang terjadi? Saya tidak tahu.

Agama-agama menyebutkan adanya kehidupan setelah kematian. Aneh rasanya jika sudah susah payah bunuh diri, ternyata hanya pindah ke kehidupan yang lain. Di sana, seorang pelaku bunuh diri pasti akan frustrasi mencoba bunuh diri lagi. Disebutkan bahwa kehidupan lain itu abadi, artinya pelaku bunuh diri dapat mencoba semua teknik bunuh diri, mengulanginya terus menerus sampai para penontonnya bosan.

Pada titik ini, saya berpikir, buat apa hidup dalam keabadian? Dan dalam keadaan pasrah menerima penghakiman, bahagia atau menderita selamanya?

*

Di Cikini, saya sempat menanyakan kepada Mas Pringadi; “Apakah Mas Pring akan mencoba bentuk penceritaan yang tidak umum, yang jungkir-balik, yang berbentuk—istilah ini sekarang ramai diperbincangkan—eksperimental?”

Saya yang saat itu hanya menyiapkan diri untuk menerima jawaban ‘ya dan mengapa’ serta ‘tidak dan mengapa’ merasa tersentil karena mendapatkan hal yang sama sekali berbeda. “Saya lebih ingin melakukan eksperimen dalam segi gagasan, bukan bentuk,” jawabnya, kalem sekali, dilanjutkan penjelasan panjang betapa penulis-penulis dalam negeri masih kurang menggali gagasan-gagasan. Betapa pula banyak gagasan-gagasan baru yang menunggu untuk ditemukan, diolah, didiskusikan, dan tentu saja diceritakan.

Kemudian, setelah membaca buku kesekian beliau, ‘Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir’, konsep eksperimentasi gagasan ini semakin jelas, dan pastinya semakin memikat untuk dipelajari.

Karena, mengapa tidak?

Kumpulan cerpen dengan seratus tiga halaman ini memuat empat belas kisah yang sedia untuk dinikmati, sudah jelas dengan gagasan-gagasan baru-membarukan; tentang seseorang yang ingin berhenti berpikir barang sehari (Hari yang Indah untuk Tidak Berpikir), tentang kebohongan dan kasih tak sampai (Kopi Colombus, Nacinta, 2O14, Katak Bunuh Diri, Jam Makan Siang, Sebuah Esai Milik Memori), tentang mistis dan kritik (Motor Terbang, Teruna), tentang bunuh diri (Apa yang Dipikirkan oleh Ryunosuke Akutagawa Lima Detik Sebelum Bunuh Diri, Baby Five), terakhir tentang tikung-menikung (Empat Ratus Tahun Cerita Lelaki, Bersahabat dengan Alien). Pandangan ini lahir tentu dari pemaknaan saya dan hanya saya sendiri. Teman-teman yang sudah membaca mungkin mendapatkan pengartian yang berbeda :)))

Dari keseluruhan cerpen-cerpen tersebut, sungguh sulit menentukan satu yang paling baik. Semua hampir sama kuat, rating saya berputar di empat sampai lima bintang dari lima bintang. Setelah terpaksa mengeliminasi Motor Terbang dari dua terbaik versi saya, saya mendapatkan Baby Five sebagai pemenangnya.

Lain halnya dengan yang paling tidak saya sukai, sekali baca langsung dapat, dan teramat sangat menyesali hal ini. Yang saya bicarakan adalah cerpen yang judulnya dijadikan judul buku kumcerpen ini.

Ada beberapa hal yang tak sukai—mungkin rasa suka ini lahir dari ketakmengertian—dari cerpen yang—satu lagi yang membuat saya menyesal—dijadikan cerpen pertama dalam buku ini. First impression itu penting, entah kata siapa. Dan saya tak merasa dikenalkan oleh rasa penting ini.

Mas Bamby kemarin bilang, “Buku ‘Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir’ ini sungguh membuat saya tak berhenti berpikir.” Saya belum membaca buku ini waktu gurunda berkata seperti itu, setelahnya baru saya mengerti. Mas Pringadi sungguh memaksa kita untuk berpikir di cerpen pertama ini. Sebuah kontradiksi dengan judulnya. Sebuah ironikah yang ditawarkan beliau? Mungkin. Entahlah, yang saya benar tahu saya tidak memiliki apresiasi atau pengalaman menyenangkan ketika membacanya.

Ceritanya simpel sekali, namun dibuat rumit. Bercerita tentang seseorang yang tidak mau berpikir barang sehari, namun pikirannya ternyata mengkhianatinya. Itu dan tak lupa juga gangguan dari temannya yang Alien, yang berkali-kali meng-SMS-nya yang aneh-aneh.

Ada lebih dari tujuh informasi yang dicoba dijejalkan, dipejalkan ke dalam pikiran kita. Sebut saja Clement Attlee yang dihubung-hubungkan dengan orang Banten, New Public Services dan privatisasi BUMN, Prinses van Kasiruta dan posesivitas, jerapah Lamarck dan teori Darwin, IMF dan World Bank, Myanmar dan pertumbuhan ekonomi, arogansi Wenger dan bursa transfer, serta beberapa lainnya yang memiliki porsi lebih sedikit, namun tetap saja berupa informasi.

Dalam menulis Flash Fiction atau fiksi kilat atau fiksimini, twist atau puntiran yang berhasil adalah yang memberikan efek kejut, tanpa penulis berusaha menjelas-jelaskan di mana letak puntirannya. Begitu juga dengan lelucon, lelucon yang baik adalah yang dapat membuat mayoritas tertawa, sedang yang tidak tertawa biarlah kita cap sebagai ‘nggak nyampe’, namun kuncinya tetap, mayoritas tertawa.

Saya tak melihat urgensi informasi-informasi yang Mas Pringadi coba hidangkan ke pembacanya. Apakah Mas Pringadi seringan hati itu untuk mendepak kita dari tempat tidur atau sofa atau kursi malas untuk ke perpus terdekat atau kedutaan Inggris untuk Indonesia hanya agar pembacanya tahu siapa itu Clement Attlee? Tentu saya membayangkan hal ini bisa saja terjadi dua sampai tiga puluh tahun ke belakang di mana kemudahan memperoleh informasi harganya mahal.

Jadi menurut saya, cerpen pertama yang seharusnya menjadi first impression ini adalah cerpen yang tidak sebagus cerpen lain kalau tak bisa dibilang gagal.

Saya mengharapkan ada perubahan yang signifikan untuk cetakan selanjutnya, catatan kaki misalnya. Dengan catatan kaki, pembaca setidaknya dapat menangkap apa yang tengah penulis coba lemparkan.

Satu dan hanya satu itu yang bikin saya gemes sama buku ini. Tiga belas cerita sisanya membuat saya paham di mana kelas beliau, mengerti mengapa Pringadi A. Surya bisa dianggap penulis muda berbakat oleh novelis sespektakuler Okky Madasari. Kualitas Mas Pring tecermin benar dalam buku ini, yang tentu membuat beliau langsung berada dalam jajaran penulis favorit dalam daftar saya. ❤

Tak banyak yang bisa saya bagikan tentang cerpen kesukaan saya, Baby Five, kepada teman-teman. Bukankah perasaan menyenangkan dan cerita bagus adalah salah dua hal yang sulit dijabarkan? Apalagi setelah membaca cerita bagus muncul perasaan yang menggembirakan. Wah, makin-makin deh.

Hanya satu pertanyaan mungkin, merujuk kepada kesenangan beliau pada serial komik One Piece; apakah Baby Five yang dijadikan judul ada hubungannya dengan Baby Five yang merupakan salah satu anak buah Donquixote Doflamingo pada Dressrosa Ark?

Spoiler sedikit:

“Saya sudah tahu jawabannya…,” katanya.

Saya diam.

“Hati kamu penuh cinta. Aku tak yakin, bahkan bila hati kamu diletakkan di Everest, ia dapat membeku. Cinta di hati kamu selalu lebih api dari api.”

Saya berusaha mencerna kata-kata itu dan berpikir apakah Hemingway pernah mendapatkan kalimat seperti ini di dalam hidupnya? Apakah Hemingway juga pernah merasakan cinta?

“Orang-orang yang punya cinta tidak perlu mati…,” lanjutnya sambil menunduk. Kemudian seorang pelayan mengantarkan menu dan berdiri di samping meja dengan pose siap mencatat kata-kata kami.

Sayangnya, saat itu, saya kehabisan kata-kata.

-Baby Five

Ini saya ngejerit kecil loh pas selesai baca, kayak, auwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww.

Yang lucu dalam cerpen ini adalah karakter tiap cerita yang seakan-akan saling berkaitan. Bahkan, saya berani bilang kalau cerita-cerita ini membentuk satu cerita utuh, tapi sayang, saya belum menemukan mana hilir mana hulu. Misal, pada cerpen ‘Kopi Columbus’, apakah Teruna sedang ngegalauin teman si K, Alien, yang muncul juga di cerita ‘Empat Ratus Tahun Cerita Lelaki’ dan ‘Bersahabat dengan Alien’? Apakah ini Teruna yang sama dengan Teruna yang dikisahkan pada cerita terakhir dalam buku ini? Bagaimana dengan Nacinta dan Sari? Apakah mereka perempuan yang sama?

Hal ini adalah teka-teki yang menyenangkan untuk diulik, ditemukan, dan terus didiskusikan.

Secara keseluruhan, saya memberikan…

Bintang 5

Sukses selalu Mas Pringadi! Ditunggu novel perdananya!

Review: Matahari di Atas Bukit

0

Processed with VSCO with t2 preset

Matahari di Atas Bukit

Penulis: Ris Prasetyo

Lukisan cover: Steve Kamajaya

Penerbit: ALAM BUDAYA

Cetakan: I (1985)

Jumlah halaman: 277 hlmn

*

ᴥ Blurb ᴥ

Seorang insinyur wanita berada di wilayah pertambangan. Di sini ia terlibat dengan berbagai masalah; cinta, kekuasaan serta berbagai intrik kedegilan manusia. Namun tidak sejengkal pun ia mundur.

Novel ini luar biasa, karena ia membeberkan berbagai sisi perasaan wanita; kekerasannya, kelembutannya dan perlawanannya. Ris Prasetyo menuang semua secara intens dan penuh penghayatan, maka layak novel ini memenangkan hadiah kedua dalam Sayembara Fiksi Majalah Sarina 1.

*

“Ayah betul bahwa kemerdekaan membutuhkan ide-ide dari para pemikir. Tetapi sebagai calon pemimpin yang baik, tidak hanya duduk di belakang meja menunjuk kesalahan bawahan, Yah. Dia harus bisa terjun langsung ke lapangan. Kalau perlu memberikan contoh bagaimana yang sebenarnya harus diperbuat.”

-Utari (hlmn 22)

Berkisah tentang seorang insinyur wanita yang menjadi Base Camp Master di salah satu pusat pertambangan batu mangan di Bima, Nusa Tenggara Barat. Meski memiliki jabatan yang lebih tinggi di antara yang lain-lain, Utari tetap bisa mengayomi dan mampu bersahabat dengan anak-anak buahnya; Zulfikar, Kustomo, Tony, Sahala, Fauzi dan Cong.

Sungguh baik hati wanita yang satu ini, selain berusaha dengan keras demi melancarkan proses tambang perusahaannya, Utari juga menaruh simpati kepada kondisi masyarakat yang terbelakang dan kurang berpendidikan di desa-desanya. Kondisi masyarakat di desa-desa itu, Kalemba contohnya, sungguh sangat memprihatinkan. Anak-anak di sana tak mampu sekolah sampai ke jenjang yang cukup tinggi. Sedangkan orang dewasanya kerap bermalas-malasan, padahal kebutuhan semakin lama semakin mahal.

Adanya proyek tambang ini tentu disambut dengan gembira oleh para masyarakatnya. Banyak sekali kebaikan-kebaikan yang timbul akibat adanya proyek ini, sebut saja terbukanya lapangan pekerjaan bagi seluruh golongan masyarakat (termasuk anak-anak dan wanita. Psstttt… ini sebenarnya tidak dibolehkan loh); meningkatnya perputaran uang di sana sebab orang-orang proyek sedikit banyak membutuhkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat seperti ikan, minyak kelapa, sayur-mayur, dan lain-lain; juga pembangunan infrastruktur demi kemaslahatan masyarakat.

Namun, akan selalu ada orang-orang yang tak berkenan dengan perubahan. Apalagi jika perubahan itu sedikit banyak mengusik-usik kenyamanan. Sebut saja Kasim Gumba “Si Macan Putih”, jagoan kampung yang sangat ditakuti hingga penjuru pulau.

Penyebab Kasim Gumba memandang benci proyek tambang ini, tak lain dan tak bukan adalah karena banyak orang yang mulai melupakan nilai-nilai luhur dan adat istiadat masyarakat. Wanita-wanita tak lagi di rumah melayani suami dan anak mereka. Bukit-bukit digerogoti buldoser-buldoser. Dan orang-orang proyek banyak melakukan tindakan tidak terpuji dengan merayu dan menghamili anak-anak gadis di desa.

Itu, atau ada hal yang lain yang entah?

Di tengah-tengah segala sabotase yang dilakukan oknum-oknum desa—seperti dirusaknya jembatan yang baru saja dibangun Utari, paku dan duri yang diserak di sepanjang jalan, isu-isu yang disebar yang mampu memancing adu domba—Utari mendapatkan dukungan penuh dari lelaki yang dicintainya, Insinyur Joko.

Meski begitu, percayakah Utari ketika Insinyur Joko membalas cintanya? Padahal kita tahu sama tahu kalaulah Insinyur Joko adalah Don Juan yang kerap bermain api dengan wanita?

“Tunggu dulu. Politik untuk hidup atau hidup untuk politik, Zul?”

“Kelihatannya, dua hal itu sekali jalan, Bu.”

-(hlmn 38)

Ris Prasetyo mengambil semesta 1980an untuk latar waktu ‘Matahari di Atas Bukit’. Hal ini tentu menjadi pembeda dan penanda keunikan buku ini dibanding beberapa buku terakhir yang saya baca. Digempur habis-habisan oleh kemajuan dan kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi, saya diajak berjalan-jalan di Nusa Tenggara Barat hampir empat-puluh-tahun lalu. Dan rasanya teramat-amat-amat-amat-amat sangat menyenangkan!

Kegembiraan saya tak sampai di situ saja. Dengan budaya bahasa yang dimiliki angkatan 80an, jua ketertiban menulis yang berlaku saat itu, saya dibuat jatuh cinta pada kata demi katanya, pada frasa demi frasanya. Pada istilah-istilahnya. Pada keindahan tekniknya. Pada segala, pada semua.

wp-1502803284726.

“Siang itu betul-betul dia merasakan ibarat meniti pada kawat berduri. Maju hancur, mundur terkubur.”

-(hlmn 64)

Membaca kisah Utari bagaikan membaca kisah Raden Ajeng Kartini di dimensi waktu dan tempat yang lain. Betapa polah tingkahnya sungguh merupakan cerminan dari apa yang seharusnya wanita masa kini (dan bahkan di masa depan) miliki; teguh hati, percaya diri, lembut namun jua berani.

Dan di sinilah bagian yang paling saya sukai di buku ini, ketika Utari mendobrak segala kemapanan dan stereotip tentang wanita yang harusnya begini, harusnya begitu.

“Prestasinya yang menonjol sempat dibuktikan ketika dia memimpin pencarian urat emas di daerah Masuparia, Kalimantan Tengah. Dia telah berbuat banyak. Sebagai wanita, dia telah berhasil menyusup ke tengah-tengah rumah penduduk yang sulit ditembus, ke tengah-tengah hutan yang ganas, dan ke tengah-tengah pelacuran yang akan tumbuh di tengah hutan itu. Bahkan tak jarang dia berhasil membangkitkan semangat kaum ibu di pinggir-pinggir hutan yang terasing, atau di desa-desa yang terpencil. Dialah Kartini abad ini! Dialah Utari!”

-(hlmn 77)

Meski banyak bercerita tentang romansa antara Utari dan Insinyur Joko, juga kegigihan Utari dalam melaksanakan kewajibannya sebagai salah satu pemimpin proyek tambang ini, Ris Prasetyo tak lupa memberikan bumbu-bumbu lain seperti konflik keluarga, kedegilan manusia, dan rasa nasionalisme yang menjadikan buku ini begitu nikmat, begitu lezat untuk dibaca.

Hanya tiga hal yang sempat menjadi cabai di gigi (baca: sedikit mengurangi bookgasm yang tengah saya alami pada buku ini); pertama, penggunaan sudut pandang orang ketiga yang sempat membingungkan di awal-awal cerita. Saya agak sedikit sulit menjabarkannya jadi, maaf.

Kedua, pemakaian bahasa asing (entah Belanda, entah Perancis, duh tak pandai saya) yang kadang-kadang digunakan Insinyur Joko ketika berbicara dengan Utari yang tidak ada catatan kakinya. Ingin saya bisikkan rasanya kepada Ris Prasetyo; ‘Manknya pemb4ca-pembac4 lau perna iqut lez basa asink, hah?’

Ketiga, adegan (hampir) bunuh diri yang membuat saya terheran-heran di tengah-tengah cerita. Entah karena plothole, entah karena memang harusnya seperti itu dan perbedaan budaya dan logika di antara saya dan Ris Prasetyo-lah yang menjadi hambatannya.

“Rambut boleh sama hitam tetapi pendapat bisa berlainan.”

-(hlmn 51)

Saya, dengan teramat bahagia dan tiada secuil pun keraguan, memberikan…

Bintang 5

Selamat Ris Prasetyo. Satu yang saya ingin tahu; bagaimana caranya agar kau tahu kalau bukumu yang satu ini teramat saya cintai?

“Hati-hati bicara, Zul. Di daerah tertentu di wilayah ini uang seratus ribu sudah bisa membunuh manusia.”

“Ya, nggak usah jauh-jauh, Bu. Di Jakarta sana, gara-gara rokok sebatang, nyawa bisa melayang.”

-(hlmn 39)

Sampai ketemu di ulasan selanjutnya!

wp-1502803357517.

Review: Petunia yang Berguguran di Hati Senja

0

wp-1502376509426.

Petunia yang Berguguran di Hati Senja

Penulis: Ansar Siri

Editor: Tiara Purnamasari

Layout: Tiara Purnamasari

Desain Sampul: Roeman-Art

Penerbit: Mazaya Publishing House

ISBN: 978-602-6362-36-0

Cetakan: I (April 2017)

Jumlah Halaman: 123 hlmn

*

ᴥBlurb ᴥ

Kau pernah tidak percaya dengan sesuatu yang nyata-nyata terpatri di depan mata? Berharap semua itu hanya mimpi dan kau akan segera terbangun? Aku pernah membaca hal semacam ini di sebuah novel, juga menemukan tokoh beberapa film mengucapkannya. Dan sekarang, aku mengalaminya.

Mama berdiri di depan pintu, bergelayut manja di lengan seorang lelaki. Ia berusaha memberikan senyum terbaik. Kemudian mama memperkenalkan lelaki tadi sebagai pacar barunya. Aku tersentak. Selama sekian detik kesulitan menarik napas. Bukan lantaran mama berganti pasangan lagi, bukan pula karena lelaki yang dipilihnya kini tampak sebaya denganku. Lebih dari itu, lelaki yang kini sedang mengulurkan tangan dan baru saja menyebutkan nama adalah Ruwanta, orang yang kucari selama ini demi pengakuan untuk bakal malaikat kecil di rahimku.

*

“Ini tentang hati yang merapuh oleh kenangan.”

Berkisah tentang Senja yang sangat menggilai Ruwanta, teman sekampusnya di salah satu universitas di Bandung. Cinta itu begitu besar, begitu akbar, hingga cinta-cinta yang lain, yang entah kualitas dan kuantitasnya, tersamarkan oleh cinta tersebut. Termasuk cinta dari teman sedari kecilnya; Yudit.

Mungkin rasa itu bisa sebegitu agung sebab perhatian-perhatian kecil seperti yang selama ini Ruwanta berikan, yang manis dan menghangatkan, tak lagi bisa diterima Senja di rumahnya. Segala tercipta karena mamanya berubah semenjak ditinggal mati oleh suaminya, papa Senja. Sedari sana, hanya tersisa sudut-sudut rumah yang dingin, botol-botol bir, serta kebencian-kebencian yang nyata di pelupuk mata.

Mungkin sebab itulah yang menjadikan Ruwanta semestanya Senja.

Namun, masihkah Ruwanta menjadi segala Senja setelah apa-apa yang terjadi di antara mereka? Setelah ditinggalkannya Senja seorang diri berteman rasa takut dan kekecewaan? Setelah apa-apa yang dia lakukan pada mama?

Dan bagaimana dengan cinta Yudit yang entah itu?

*

“Menurutku senja berarti sesaat. Apa yang bisa dibanggakan dari sesaat?”

-Senja (hlmn 3)

Membaca novela yang kurang dari seratus lima puluh halaman ini adalah sebuah guilty pleasure bagi saya; ingin baca terus, tetapi di sisi lain tak ingin cepat-cepat menyelesaikan kisah-kisahnya. Apalagi pada novela jawara milik Daeng Ansar ini.

Mengambil semesta anak kuliahan, buku bersampul lembut dengan bunga petunia berwarna ungu ini mampu mengajak saya berpetualang di dalam kepala Senja, tokoh utama wanita kesayangan kita. Senja diimajikan sebagai seorang mahasiswi di salah satu universitas di Bandung yang tengah asyik menikmati hubungan-entah-apa yang dia jalin dengan Ruwanta. Istilah gawulnya, Hubungan Tanpa Status (HTS). Bukan tanpa sebab; Ruwanta kerap memberikan perhatian-perhatian yang menyiratkan sesuatu kepada Senja, membuat Senja berharap dan terus berharap tanpa kepastian.

Padahal di sana ada Yudit, lho, Senja! Yudit! Yang kamu diamkan tiap kali dirinya memulai obrolan! Yang tak kamu acuhkan setiap dirinya memberikan perhatian! Yang kamu balas dengan kekecewaan-kekecewaan atas semua dia punya ketulusan-ketulusan!

Eh, maap, esmosi.

Begitulah, manusia memang kerap mengejar-ngejar apa yang buruk namun nikmat bagi mereka, lalu tak mengindahkan apa yang baik bagi mereka.

Semakin ke belakang, saya dibuat semakin mangkel oleh Senja dan Ruwanta. Betapa bodohnya, betapa betapa mengesalkannya. Dan untuk kesekian kalinya, saya dibuat sebegini jengkel oleh tokoh rekaan Daeng Ansar.

Beruntung, Senja memiliki Nila di hidupnya yang hampir carut-marut; seorang sahabat yang selalu ada bahkan di saat kita melakukan hal-hal paling bodoh. Seorang sahabat sejati.

“Selebihnya, ia hanya pemilik pesona, sedang aku tawanannya.”

-Senja (hlmn 65)

wp-1502376531714.

Kemampuan Daeng Ansar bercerita memang sudah tak diragukan lagi. Dengan tema yang sederhana juga konflik yang lumayan rumit, kisah Senja sukses dibuat seapik ini, seciamik ini. Kemudian, yang paling saya perhatikan benar, penggunaan sudut pandang orang pertama yang teramat pas untuk gaya tulis Daeng Ansar yang alahai nian untuk dinikmati.

Dengan POV seperti ini, juga penuturan yang lembut dan manis, yang baku dan begitu mendayu-dayu, membuat saya sebagai pembaca asyik-asyik saja berpetualang dalam pikiran-pikiran Senja.

Saya diajak untuk lebih menikmati lika-liku hidup Senja.

Namun, tak bisa dibilang novela seciamik ini sudah sempurna dan tak lepas dari satu-dua kekurangan. Saltik menjadi salah satunya. Tetapi, sudah sejauh ini, saya nda akan bahas saltik-saltikan ah~ ehe ehe~

Salah duanya, risiko menggunakan cara bertutur yang manis-puitis seperti itu adalah kekurangdinamisan dalam bercerita. Daeng Ansar perlu tahu kalau tak semua isi novelanya dapat dituturkan dengan manis. Ada adegan-adegan yang mana memerlukan pompaan adrenalin agar pacu itu jantung, agar semakin nikmat apa yang dibaca.

Ingat pola ‘awalan-perkenalan masalah-puncak konflik-penyelesaian masalah-akhiran’ dalam teori Gustav Freytag? Nah, Daeng Ansar, menurut saya yang lancang ini, kurang asyique dalam mengeksekusi adegan di rel kereta api. Kami butuh pompaan adrenalin, keringat dingin, jantung yang kempat-kempot saking sibuknya memompa darah lebih cepat.

“Pernah terlintas pikiran untuk menjauh, pergi tanpa ambil pusing. Tapi sesuatu yang kubangun selama bertahun-tahun, kembali memanggil, meminta disempurnakan wujudnya di bawah payung ketulusan.”

-Yudit (hlmn 105)

Dan satu hal lain yang saya teramat jatuh hatikan dari novela ini adalah ending-nya. O, Daeng, kau pintar sekali memberikan apa yang teramat aku butuhkan dalam novela penuh luka-duka begini.

“Saya diperlihatkannya betapa pilu dan menyedihkan petunia-petunia yang berguguran. Semua kekecewaan-kekecewaan dan kelegaan-kelegaan baur jadi satu, jadi padu. Dan apa-apa yang telah terjadi dan tengah menanti, disampaikannya dengan tebu.”

-Meesterzena (IG: @meesterzena)

Dan perkenankanlah saya mengangkat topi, mengacungkan ibu jari, menyelamatkan sang empunya cerita yang telah dengan sukses menghibur saya dengan kisah-kisah di buku jawara ini. Pun, saya takkan ragu-ragu untuk memberikan…

Bintang 4

Sampai ketemu di ulasan selanjutnya!

wp-1502377657666.

Review: Semua Ikan di Langit

0

Processed with VSCO with c3 preset

Semua Ikan di Langit

Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Penyunting: Septi Ws

Ilustrator isi: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Desainer sampul: Tim Desain Broccoli

Penerbit: Penerbit Grasindo

ISBN: 978-602-37580-6-7

Cetakan: I (Februari 2017)

Jumlah Halaman: 259 hlmn

*

ᴥBlurb ᴥ

Pekerjaan saya memang kedengaran membosankan—mengelilingi tempat yang itu-itu saja, diisi kaki-kaki berkeringat dan orang-orang berisik, diusik cicak-cicak kurang ajar, mendengar lagu aneh tentang tahu berbentuk bulat dan digoreng tanpa persiapan sebelumnya—tapi saya menggemarinya. Saya senang mengetahui cerita manusia dan kecoa dan tikus dan serangga yang mampir. Saya senang melihat-lihat isi tas yang terbuka, membaca buku yang dibalik-balik di kursi belakang, turut mendengarkan musik yang dinyanyikan di kepala seorang penumpang… bahkan kadang-kadang menyaksikan aksi pencurian.

Trayek saya memang hanya melewati Dipatiukur-Leuwipanjang, sebelum akhirnya bertemu Beliau, dan memulai trayek baru: mengelilingi angkasa, melintasi dimensi ruang dan waktu.

*

“Inilah kenapa perut orang menjadi gendut kalau makan terlalu banyak: karena mereka perlahan-lahan menjadi planet, dimulai dari perut yang menyimpan begitu banyak konstelasi bintang.”

Saya yang tak pernah bosan menjalankan pekerjaannya sebagai bus Damri, pada suatu hari diajak oleh ikan julung-julung kepunyaan Beliau untuk menemani Beliau berjalan-jalan. Mulai dari bandung zaman sekarang, hingga awal mula dan akhir suatu dunia.

Dengan trayek baru yang benar-benar dari ujung ke ujung—ujung masa dan ujung ruang—Saya telah melampaui pengetahuan-pengetahuan bus seusianya. Namun, hanya satu yang kerap mengusik ketenangan busi dan radiator Saya; bagaimana cara paling baik untuk mencintai Beliau?

Dibantu seorang kecoak, banyak ikan julung-julung, pohon-pohon pengisah, dan kisah-kisah, Saya akan terus mencari tahu. Sampai hancur tubuhnya, lebur raganya.

*

IMG_20170709_205009

“Menyayangi itu adalah kegiatan yang menakutkan.”

-Saya (hlmn 64)

Membaca Semua Ikan di Langit berarti menyerahkan diri pada semesta Mba Ziggy dan mengharuskan kerelaan dari diri sendiri untuk sekadar menjadi debu di antara planet-planet.  Novel jawara ini membuat saya terheran-heran akan bentuk imajinasi yang dimiliki penulisnya; seabsurd dan semegah apakah?

Yang saya temui pada awal-awal proses menelaah diri sendiri dengan membaca Semua Ikan di Langit ini adalah: 1. Ide-ide yang fresh dan sama sekali tidak banal; 2. Pengemasan plot yang sedemikian apik; 3. Penceriteraan yang sebegini ulung.

Tak heran, Laporan Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2016 berbunyi seperti ini:

“’Semua Ikan di Langit’ ditulis dengan keterampilan bahasa yang berada di atas rata-rata para peserta Sayembara kali ini. Novel ini mampu merekahkan miris dan manis pada saat bersamaan. Dan perbedaan mutu yang tajam antara Pemenang Pertama dan naskah-naskah lainnya, membuat dewan juri tidak memilih pemenang-pemenang di bawahnya.”

See? Bahkan naskah-naskah penulis sekaliber Arafat Nur, Benny Arnas, Asef Saeful Anwar diberi label ‘memiliki perbedaan mutu yang tajam’. Alahai kampret…

Rahasia yang menyenangkan lainnya, jika kau sudah mengunyah buku ini tiga sampai lima bab, maka kau akan menemukan kenyataan kalau novel ini tak benar-benar sama dengan novel-novel lainnya dalam bentuk struktur/isinya.

Sebut saja Harry Potter, Twilight, all-American Girls, Love Rosie, atau novel-novel dalam negeri seperti Ayat-Ayat Cinta, Sunshine Becomes You, Critical Eleven, Kubah, yang pasti memiliki satu plot besar, jalan cerita yang akbar tentang protagonisnya. Berbeda dengan Semua Ikan di Langit, yang menurut saya lebih menyerupai kumpulan kisah tentang Beliau, kumpulan cerita pendek.

Atau lebih mengejutkannya lagi, jurnal pengamatan tentang Beliau—anak kecil yang teramat ajaib, oleh Saya.

Meski tak sekaku laporan/jurnal ilmiah, pengamatan yang Saya lakukan ini terkesan begitu polos dan kekanak-kanakkan, padahal umur Saya sudah 30 tahunan.

Balik lagi, struktur cerita yang seperti ini mungkin bagi orang-orang seperti saya (dan ini saya rasakan benar), akan menjadi pedang bermata dua. Kebaikannya; cerita-cerita di dalamnya akan benar-benar berwarna, dan semestanya akan semakin luas tak terkira. Ketidakbaikannya; tiadanya perasaan-perasaan penasaran untuk terus membalik-balik halaman demi halaman.

“Semua makhluk punya cara bersedih dan cara menunjukkan kesedihan yang berbeda-beda. Tapi, saya rasa, manusia mempunyai cara yang paling baik.”

-Saya (hlmn 168)

Namun ketidakbaikan-ketidakbaikan itu (mohon maafkan kelancangan ini, heuheu), tak terlalu mengganggu saya selama saya disuguhkan oleh karakter Saya dan Beliau yang alamak membuat saya jatuh hati!

Saya terus diajak mengamat-kenali Beliau (lewat pikiran-pikiran Saya yang akhirnya membuat saya memiliki kedekatan batin dengannya, ceilah) seperti; keajaiban-keajaiban yang Beliau ciptakan ketika senang hati, kegundahan-kegundahanNya, petaka-petaka yang terjadi kala Beliau murka, nama yang pantas untukNya, kesukaan-kesukaanNya… banyak. Tak habis-habis, tak bosan-bosan.

Dan sama seperti Saya, saya ikut jatuh hati pada Beliau. Apalagi ketika beliau bermain-main di toko sepatu.

“Ah, manusia memang kebanyakan kaget. Itu karena mereka punya terlalu banyak perkiraan. Jadi, kalau perkiraannya salah, kagetlah mereka. Tapi, saya tidak.”

-Saya (hlmn 35)

Alur yang maju mundur dan sudut pandang yang konsisten jua plot cerita yang tak terlalu saling menyambung (seperti sudah dibahas di atas), membuat buku ini (mungkin saja, ya, da aku belum pernah nyoba) bisa dibaca dari mana saja. Dari tengah kebelakang. Dari belakang ke depan, dan sebagainya.

Mungkin loh, ya. Ehe.

Lalu, usai diturunkannya saya di halte terakhir, di halaman terakhir buku Semua Ikan di Langit ini, saya sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan Saya atas segala cintanya kepada Beliau. Mungkinkah… mungkinkah saya bisa mencintai Beliau yang lain itu, di dunia ini, sepolos dan se-tak-membutuhkan-alasan-balasan itu?

“Tapi, rindu itu tidak bisa disuruh-suruh. Kalau sudah datang, dia maunya malas-malasan saja, sampai bosan sendiri dan pergi sendiri.”

-Saya (hlmn 80)

Saya takkan ragu-ragu memberikan…

Bintang 5

Asal, dengan syarat, jawaban Mbak Ziggy dan penyunting buku ini (yang pastinya hebat sangat karena hanya ada satu salah ketik, tertwa yang seharusnya tertawa di hlmn 251) untuk memilih menggunakan cicak daripada cecak, dan kecoa daripada kecoak.

Tapi, kalau sampai meniadakan juara dua dan tiga, kok (sekali lagi) kampret, yha?

Sampai ketemu di ulasan selanjutnya!

1500009269373