My Real Boy
Penulis: Ansar Siri
Editor: Redy Kuswanto
Setting & Layout: Rio
Desain Sampul: Tim Redaksi BUPINDO
Penerbit: PT Buku Pintar Indonesia
ISBN 10: 602-5849-21-8
ISBN 13: 978-602-5849-21-3
Cetakan: I (Agustus 2018)
Jumlah Halaman: 221 hlmn
*
ᴥBlurb ᴥ
“Gue jatuh cinta sama puisi lo, tapi belum tentu sama lo.”
-Alea
“Lo nggak salah. Gue yang harus berjuang lebih keras lagi demi bisa dekat sama lo.”
-Gilang
Setelah berhasil menyedot perhatian pengguna Wattpad dan puisi-puisinya diterbitkan oleh penerbit ternama, sosok Gilang Rendra menjadi idola baru. Ia digandrungi cewek-cewek yang memiliki hobi membaca seperti Alea.
Kendati demikian, Alea tak pernah menaruh perhatian khusus pada pesona Gilang. Baginya, cowok sekeren aktor Korea itu hanya sebatas pencipta puisi-puisi yang disukainya. Gilang dan puisi hanya perpaduan yang kebetulan.
Tetapi, bagaimana jika mereka tiba-tiba berada di sekolah yang sama? Jika Alea menjalani hari-hari bersama cowok sekeren Gilang, masihkah ia mampu bersikap biasa? Alea tahu, Gilang begitu digilai oleh teman sebangkunya. Lalu, bagaimana jika benih cinta justru tumbuh dari hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya?
*
Butuh setengah jam bagiku memikirkan bagaimana cara paling baik untuk memulai ulasan ini: Apakah dari kesegaran ceritanya? Kelincahan bahasa? Karakterisasi? Eksekusi plot? Kematangan permainan emosi? Budaya dan moralitas yang diusung? Atau sekadar pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkankah yang kurasakan usai membaca kisah Alea, sang tokoh utama?
Atau kumulai saja dari hal-hal yang amat kubenci? Maksudku, pada kenyataannya banyak hal yang kubenci ternyata lebih melekat dan lebih mudah kuingat daripada hal-hal yang kucintai. Sebut saja drama perbucinan Rea-Salsabaila-Novemberpapa, atau sidang MK, atau perusahaan tempatku bekerja yang tak membiarkanku mendapatkan upah yang pantas dan sahaja, atau naskah Wattpad-ku yang tak jua bisa kulanjutkan, atau asam lambung, atau leukemia yang menggerogoti tubuh Ayah, atau truk ayam, atau kemacetan, atau selebtweet yang runsing sekali pada orang-orang yang lebih memilih mencuci titit. Terus dan akan terus bertambah daftar kebencian itu. Terus dan akan terus bertambah. Termasuk betapa bencinya aku ketika melihat novel bagus tetapi memiliki sampul subal begini.
Maksudku, sungguh, apakah tidak ada desain lain yang lebih molek atau lebih necis atau lebih elok untuk cerita sebagus ini? Apakah penulis dan desainer tak pernah mendengar ‘Mozachiko’, ‘Athlas’, atau ‘Dignitate’? Bagaimana mungkin mereka melewatkan @nono.radke @sivan.ka dan @snzhkr?
I mean, we live in a society that will post literally everything to our social media, and you (yes, you, the writer and the designer team) have the audacity to give us this mediocre lil’… thing? Well, we will not have that. I will not have THAT.
Sebuah buku yang telah dicetak dan didistribusikan seharusnya merupakan paket komplit, dan kover adalah salah satu (jika tak bisa dibilang ‘paling’) hal yang substansial dalam menjamin ‘kelengkapan’ buku tersebut. Dilansir dari www.thebooksmuggler.com sebanyak 482 dari total 616 panelis menyatakan bahwa kover adalah hal yang krusial bagi mereka dalam memutuskan membeli atau tidak membeli sebuah buku. Terlepas dari keabsahan survei tersebut, besar sekali harapanku agar kover novel ‘My Real Boy’ ini dapat diganti pada cetak ulang selanjutnya karena agar supaya.
Kemudian betapa benar apa kata Martin Luther King Jr., “Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.”
Kebencian itu begitu besar dan benar, seolah-olah akan tetap dan bertahan sampai nabi-nabi terlahir kembali. Tetapi manusia adalah wadah bagi perangai dan polah yang salah, tak sampai tiga halaman dibalik, Alea dan kawan-kawan menunjukkan kalau mereka lebih pantas untuk dicintai.
Kerusuhan Delon di awal cerita ditengarai karena usahanya membagi-bagikan pamflet Meet and Greet Gilang Rendra—sepupunya sekaligus penulis puisi—tidak berjalan baik. Meet and Greet yang mati-matian diiklankan Delon itu adalah kegiatan sua dan sapa pertama sekaligus bentuk promosi untuk buku kumpulan puisi terbarunya Gilang. Buku kumpulan puisi tersebut terdiri dari puisi-puisi Gilang yang awalnya hanya diunggah di Wattpad, salah satu platform menulis di internet. Karena penerimaan atas puisi-puisi itu begitu menggembirakan, mereka dilirik oleh salah satu penerbit untuk diterbitkan, yang mana merupakan kabar baik bagi Alea, teman dekat Delon pun fans berat puisi-puisi Gilang.
Alea sang tokoh utama memang seorang kutu buku. Kekutubukuannya ini bahkan mampu menjadikannya seorang bookstagrammer (pengguna Instagram yang banyak berbagi tentang buku) yang dipercaya beberapa penerbit. Tugas Alea adalah mengulas isi novel dan mengunggah hasil ulasan sebagai salah satu jalur promosi bagi pengarang dan bukunya. Alea begitu baik dalam hal ini, sampai-sampai Gilang memberikannya julukan ‘Bookstagrammer Kece’.
Meet and Greet itu bisa dibilang adalah awal dari segala kusut kelindan romansa yang dialami tokoh utama di masa depan. Karena kuis kecil, sebuah tes bagi para penggemar sejati puisi-puisi Gilang, Alea dan Gilang menjadi dekat dan semakin dekat. Entah nyata atau bukan, murni atau tidak, sesuatu yang pelan-pelan disodorkan Gilang kepada Alea mulai membuat perasaan gadis bergigi gingsul itu tak keru-keruan.
Belum jelas apa yang hendak Alea lakukan pada kepala dan isi hatinya, masalah datang silih berganti. Ratih, teman sebangku sekaligus sahabat dekat Alea di SMA, cemburu karena Gilang perhatian dan hanya perhatian kepada Alea. Pertemanan yang sudah terjalin selama hampir tiga tahun itu terancam lumat hanya karena perkara lelaki. Belum lagi Aira, perempuan yang teramat mencintai Gilang tiba-tiba datang dan melabrak Alea. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada Delon?
Yang paling menjungkirbalikkan dunia Alea adalah kehadiran kembali Sekar usai segala yang telah ia lakukan. Usai dosa paling dosa itu. Usai ranap hati dan sakitnya dikhianati. Usai sampai hati seorang ibu tega membuang darah dagingnya sendiri.
Perasaan-perasaan yang banyak dan menyedihkan itu bergulung-gulung di hati, di kepala, di tulang sumsumnya. Bagaimana mungkin seorang remaja mampu menahan semua luapan emosi sedemikian hebat? Tuhan mana yang tega? Yang sampai hati?
Mungkin, dan hanya mungkin, kewarasan tak mudah tanggal bagi Alea sebab mainan, mobil-mobilan merah miliknya. Mungkin, dan hanya mungkin, kenangan-kenangan baik yang lekat pada mobil-mobilan itu adalah segala baginya untuk tetap bertahan.
Satu hal yang menarik hati adalah penulis, Daeng Ansar, telah mampu mencapai salah satu tahap dalam dunia kepenulisan (yang entah ada berapa banyaknya) yaitu ‘kecakapan menyampaikan gagasan’. Tak peduli besar atau kecil, gagasan tetaplah gagasan yang boleh jadi mampu memberikan impak pada mereka yang tengah mencarinya.
“Dari sini gue belajar, bahwa cinta tak melulu diawali getar aneh atau hal lain yang sering dibicarakan orang. Tapi pada kasus tertentu, ia malah tumbuh pelan-pelan dalam kenyamanan.”
-Alea
Perkara cinta takkan pernah habis dikulik. Dikisahkan lagi dan lagi dan lagi dan lagi. Begitu terus sampai entah kapan. Mulai dari tragisnya hikayat Zainudin-Hayati dalam ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ sampai cerita canggih superkekinian lengkap dengan akrobatik bahasa enggres oleh Haris-Keara-Risjad dalam ‘Antologi Rasa’. Penulis tak membawa kebaruan, namun piawai membalutnya dengan kepadupadanan. Cerita cinta khas anak sekolahan, ditambah cukup unsur famili, sedikit pepuisi dan budaya—baik progresif dan konservatif, semua lengkap! Pokoknya tak melulu cinta dan pacaran.
Mungkin hal ini dan juga kelihaian Daeng Ansar meramu plot yang membuatku tak jemu menamatkan kisah Alea. Semua petunjuk bak kepingan puzzle yang tahu diri untuk tak tergesa-gesa menyingkap segala sesuatunya. Emosi naik-turun dengan menyenangkan setelah lapis demi lapis disodorkan halaman-halaman yang menguak kebenaran demi kebenaran. Dan akhir kisah mereka… alahai.
Meski tak memiliki puntiran cerita (karena tak semua cerita harus berakhir dengan twisted ending, bukan?), kemahiran Daeng dalam membuat karakterisasi adalah sebuah pencapaian tersendiri. Tokoh Alea, Gilang, Ratih, Delon, apalagi Rahma dan Hadi sudah dibuat seotentik mungkin, dieksekusi semenarik mungkin. Inilah hal yang paling aku cintai dari banyak hal yang aku cintai pada buku ini. Salut untuk Daeng karena telah menapaki level yang lebih tinggi lagi. Hampir tak ada karakter yang sia-sia atau dibuat setengah jadi kalau tak bisa dibilang setengah hati (uhuk Aira dan keluarganya.)
Di kisah ini aku bisa dengan mudah membayangkan Alea tengah memainkan mobil-mobilan merahnya, pipi ditopang lengan, di hadapannya tumpukan buku dan laptop yang menyala, sedang kesedihan dan riak masa lalu bergulung-gulung di langit-langit. Kemudian datanglah Ratih, Rahma, dan Hadi, yang otaknya setengah, yang sanggup memeriahkan kehidupan gadis introver satu itu. Gilang turut serta dengan gombalan-gombalan dan perasannya, Delon dengan kebaikan dan ketulusan hatinya. Meski begitu, vibran getir dan murung yang likat di buku ini tetap terjaga sedari awal. Salut untuk kesekian kali.
Oh, ya, ‘daeng’ yang kugunakan berkali-kali tadi adalah sebuah sebutan kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan. Sifatnya sama dengan kata ‘mas’ bagi orang Jawa atau ‘akang’ bagi orang Sunda. Daeng sebagai panggilan kepada orang yang lebih tua dipergunakan merata kepada pria ataupun wanita di Makassar. Oleh karenanya, tak perlulah bagiku untuk terheran-heran dengan kelincahan penulis dalam berbahasa dan berkata-kata.
Akhir kata: buku ini bisa dibilang paket lengkap. Cocok betul untuk dibaca para remaja yang tengah mengalami krisis bacaan bermutu (di mana lebih banyak cerita ngewa-ngewi dibanding jumlah bintang di langit oke hiperbolis tapi kamu tahu apa yang aku maksud). Cocok juga dibaca bagi mereka yang mencari bacaan-sekali-duduk. Atau mungkin sebagai referensi teknik dasar-dasar menulis cerita panjang. Buku ini punya segala dan pantas mendapatkan lima dari lima bintang yang aku punya.
Lalu kamu mesti berhenti membaca di sini kalau tak mau kubocorkan hal-hal penting-tidak penting perihal buku ini. Tentang cacat (?) logika dan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan. Hanya sedikit, tenang saja, dan bukanlah perkara yang mayor yang akan mengganggu kenikmatan atau perjalanan membaca kamu.
*Spoiler Alert!*
Hal pertama, dan kuingatkan sekali lagi kalau kamu akan membaca sedikit spoiler tentang buku ini, adalah runutan waktu cerita dan/atau kesalahan berpikir pada diri Sekar, ibu kandung Alea. Alea dibuang sewaktu kecil dengan alasan ‘Sekar tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan Alea’. Ke mana perginya ayah kandung Alea? Itu lain hal. Kamu hanya perlu tahu bahwa kemiskinan memaksa Sekar menelantarkan anaknya sendiri. Mari kita berandai-andai bahwa Alea berumur lima tahun saat itu, dan latar waktu di dalam buku ini adalah ketika Alea berada di kelas dua belas. Tiga belas tahun berlalu tanpa Alea pernah tahu mengapa ia dibuang, lalu sekonyong-konyong ini perempuan mengaku-ngaku kalau Alea adalah anaknya. Otak kamu di mana, hei, Sekar?!
Pembelaan-pembelaan beliau pun dapat dengan mudah terbantahkan. Apalagi ketika mendengar kisah hidupnya sendiri yang dengan singkat dapat diceritakan seperti ini: Sekar diangkat menjadi pembantu oleh ayahnya Aira, kemudian sah menjadi istri kedua setelah ibu kandung Aira meninggal. Sampai di sini harusnya Sekar segera mengambil kembali Alea, bukan? Maksudku, pekerjaan beliau yang sebagai pembantu pun sudah cukup layak untuk sekadar mengurus anak, apalagi dengan majikan baik hati seperti ayahnya Aira. Tetapi dia lebih memilih tetap menelantarkan anak kandungnya sendiri dan (meski dibahas sedikit kalau tidurnya tak pernah nyenyak dan ‘butuh waktu untuk menyiapkan segalanya’) malah asik-asikan menjadi istri orang kaya. Pun walau kaubilang tidurmu tak pernah nyenyak, sumpah demi Tuhan, kau masih tidur di atas kasur yang empuk dan hangat.
Shame on you, Sekar. You didn’t deserve any apology. Go to your grave with that so called grief.
Kedua: perubahan gender dan/atau orientasi seksual papa Gilang. Sebelum terkenal seperti sekarang, Gilang adalah seorang pemuda urakan yang hobinya tawuran karena kehilangan tempat untuk pulang. Papa dan Mamanya cerai, hingga rumah tak sehangat dulu. Kekecewaan-kekecewaan itu yang membuat Gilang kerap mencari pelampiasan. Apalagi ketika melihat papanya mulai gemulai dan bertingkah kemayu sampai memiliki pasangan lelaki.
Perubahan papa Gilang setelah perceraian itu masih bisa diterima logika. Bisa saja dia adalah seorang gay yang closet, yang merepresi jati dirinya sendiri demi diterima kultur dan masyarakat, sampai akhirnya ketika beliau menerima kebebasan, maka berbuatlah dia sebebas-bebasnya: berdandan seperti perempuan, membuka butik yang diidam-idamkan, hingga mengganti namanya dari Bondan menjadi Bonita.
Tapi di akhir nanti, entah bagaimana caranya, Bonita kembali menjadi Bondan dan akhirnya menikah lagi dengan wanita. Maksudku, ini serius, nih? Hanya karena Gilang berhasil ‘menyembuhkan’ papanya? ‘Menyembuhkan’ bagaimana maksudnya?
Saya bisa menulis lima ribu kata lagi, mengutip sana-sini, menjelaskan perkara seks dan gender, lalu menampikkan segala kemustahilan logika yang penulis coba sodorkan. Namun, poinnya adalah: gender tak semudah kau membagi toilet umum menjadi khusus pria dan wanita, lebih menyerupai spektrum warna yang luas dan jamak, juga orientasi seksual manusia tak berubah-ubah segampang ganti celana dalam. Bahkan, jika ditilik secara akademis, menjadi seorang homoseksual bukanlah sebuah penyimpangan apalagi penyakit. Jadi ‘menyembuhkan’ di dalam buku ini hilang maknanya.
Dua di atas adalah hal yang paling mengganggu pengalaman membaca saya. Meski begitu, taklah sampai membuat saya kemudian tak lagi bisa menikmati novel anggitan daeng Ansar ini. Novel ini mempunyai kedalaman dan memiliki ikatan batin tersendiri dengan saya sebagai pembacanya. Serta taklah mengada-ada untuk menyebut buku ini ‘buku-beliau-yang-paling-baik-yang-aku-baca’. Sehat sukses selalu, Daeng!