Lelaki Terindah
Penulis: Andrei Aksana
Editor: Hetih Rusli
Setter: Anna Evita
Desain Sampul: Marcel A. W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-03-1817-2
Cetakan: VII (Juni 2017)
Jumlah Halaman: 224 hlmn
*
ᴥBlurb ᴥ
Suatu ketika dulu
Aku pernah dihanyut asmara
Tapi tak pernah ku tenggelam
Karena kekuatan cintamu
Menjadi perahu dan dayungku
Hanya engkaulah yang mampu
Melenyapkan ragu menjadi tahu
Memupuskan kelu menjad deru
Hanya engkaulah yang bisa
Menggantikan tawar menjadi rasa
Menghadirkan tiada menjadi ada
Karena hanya engkaulah…
Lelaki terindah di hidupku…
*
Cerita dimulai dengan satu sajak pendek—sajak-sajak yang akan selalu ada di tiap-tiap halamannya. Sebagian memilin hati, sebagian yang lain terasa terlalu FTV.
Sudah kualami perih karena kehilangan
Sudah kureguk kecewa karena ditinggalkan
Sudah ku didera luka karena dikhianati
Semuanya belum seberapa
Hanya ada satu derita yang paling menyiksa
Jatuh cinta
Tapi tak bisa memiliki
Rafky tergesa-gesa menghadang Aku di koridor kedatangan internasional di bandara. Seperti meteor ia melesat. Angin kalah cepat dengan ayunan kakinya. Dengan napas satu-satu, ia memohon kepada Aku, “Tolong… Hanya kau yang bisa menuliskan kisah ini. Hanya kau yang bisa membuat kisah cinta ini mengharukan… bukan kisah cinta yang disisihkan, dicela, dicemooh.”
Aku tergetar hatinya. Kisah cinta macam apa yang sebenarnya Rafky maksud? Yang pemuda rupawan, berhidung mancung, dan berperawakan tinggi besar ini ingin Aku tuliskan?
“Aku mencintai seorang laki-laki,” sahutnya pedih.
Aku tercengang, tertampar kata-kata. Aku menolak menuliskan kisah ini. Aku tidak akan pernah menuliskan cerita ini. Tidak akan pernah.
Tapi perasaan apa yang mengejar-ngejar Aku? Yang membuat batin Aku tersiksa? Gelisah? Gundah gulana sampai berhari? Berminggu? Berbulan? Lama sekali? Sampai-sampai tiap-tiap malam Aku sulit memejamkan mata?
Seperti dikejar bayang-bayang
Meski tak melakukan kesalahan apa-apa
Mengapa kebenaran justru membuat kita
selalu merasa tersiksa?
Barangkali karena kebenaran telah lama terpenjara…
Sanggupkah Aku menuangkan kisah cinta yang disingkirkan masyarakat? Kisah cinta yang sebenarnya terjadi, tapi selalu diingkari? Haruskah Aku juga bersikap kejam? Sama seperti yang lain? Haruskah Aku menghakimi cinta seperti ini?
Lalu Aku membuka layar laptop.
Dan mulai mengetik.
Dan merasakan air mata meleleh.
Kalau saja Rafky membiarkan dirinya ketinggalan pesawat, mungkin cerita ini takkan pernah benar-benar ada. Kalau saja mbak-mbak penjaga konter penerbangan menuju Thailand itu benar mengikuti prosedur, dan berkeras meminta Rafky untuk naik penerbangan selanjutnya, mungkin segala yang terjadi di antara Valent dan Rafky takkan pernah menjadi nyata. Kalau saja segala ‘kalau’ tadi benar terjadi, maka tak perlu ada hati yang tersakiti.
Tetapi bukankah manusia memang senang berkalau-kalau? Kerap kali menginginkan untuk berputar balik dalam kehidupan, kemudian memilih jalan yang lain, pilihan yang lain, kesempatan yang lain?
Begitulah kisah Rafky dan Valent bermula; pertemuan di pesawat mempersatukan mereka. Ada sesuatu dalam diri mereka masing-masing yang saling tarik-menarik, ikat-mengikat. Valent bagi Rafky adalah permata yang mudah pecah, bidadari musim semi, dua dimensi yang saling memagut, berporos ke dalam keselarasan. Laki-laki dan perempuan. Gagah sekaligus lembut.
Sedangkan Rafky bagi Valent adalah benteng kokoh, dermaga solid tempat bersandarnya segala kebimbangan.
Meski begitu Rafky tak langsung menerima keganjilan ini. Bertahun-tahun menjadi pecinta dan pemain wanita, logikanya menolak untuk jatuh ke dalam pesona Valent, meski hatinya berkata lain. Namun, persis aspal jalanan yang tergerus banjir di musim hujan, logika itu terkikis dan mulai lebur. Hatinya lebih vokal berdebar, dibanding kepala yang mencoba ingkar. Negara Gajah Putih ini menjadi jambangan tempat seluruh kelopak perasaan terhimpun, merekahkan getar yang tak pernah mati. Dari Ayutthaya ke Thon Buri. Festival Loy Krathong sampai The Golden Mount. Grand Palace hingga Lumpini Park, tempat monumen Patung Raja Rama VI berada.
Setiap sudut kota ini
adalah syair yang direntangkan
sepanjang itu kita tulis
Tak pernah sempat dibaca
Selalu saja ada kata dan kalimat baru
setiap kali kita ingin berhenti
Sedikit demi sedikit rasa itu tumbuh dalam tubuh, bertambah dalam tabah. Hingga ketika kembali ke tanah air, mereka merawat pohon perasaan itu diam-diam, sembunyi-sembunyi, sebab kekasih dan orang tua masing-masing yang tak mungkin bisa mengerti.
Dan di titik ini, hanya kesedihan demi kesedihan yang Aku mampu tuliskan. Sampai nanti, sampai salah satu dari mereka pergi dan takkan pernah bisa kembali.
*
Ada perasaan yang meledak-ledak ketika membaca buku ini. Buku yang lebih dari sekadar bagus. Buku yang kubayangkan akan dapat kutulis di masa yang akan datang. Membaca buku ini seperti melihat tulisan-tulisan yang ingin kutulisi di masa depan. Gabungan antara puisi atau sajak dengan prosa-prosa pendek, cerita unik dengan penceritaan otentik, diksi yang matang yang mampu menunjukkan di mana kelas sang pengarang.
Tentu aku menempatkan diriku tak murni sebagai pembaca, tapi juga sebagai penulis. Dan buku ini membuatku orgasme sebagai keduanya. Tekniknya memikat, apa yang disajikannya memukat.
Mengapa kita menghitung
Ringan atau berat
Kecil atau besar
Sedikit atau banyak
Kekecewaan kerap membuat kita menjadi pedagang
Menjual hidup kita sendiri
“Sastra berfungsi sebagai pencatat zaman. Demikian pula dengan Lelaki Terindah. Novel ini tak hanya menjadi semacam catatan tentang dua lelaki yang saling mencari dan mempertanyakan arti cinta dalam realitas kehidupan, tetapi juga membicarakan simbol-simbol dalam keterkekangan.” (Hetih Rusli dalam Lelaki Terindah, Pengantar Terbitan 11 Tahun)
Mbak Hetih juga berkata kalau buku ini telah menjadi tonggak literatur gay di Indonesia selama satu dekade. Yang pernyataan itu kemudian melahirkan pertanyaan yang lain; tonggak apa? Literatur gay yang mana? Memangnya ada?
Selama bertahun-tahun aku membaca, aku baru menemukan tiga buku yang benar menyorot kehidupan kelompok terpinggirkan ini: Cokelat Stroberi; Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; lalu terakhir Lelaki Terindah. Shit Happens, anggitan Christian Simamora, tak masuk hitungan karena kupikir homoseksualitas di dalamnya tak terlalu sentral dan diutamakan, ia berbaur dengan cerita lain yang lebih konservatif.
Lalu adikarya Andrei Aksana ini sebenarnya menonggaki apa? Literatur gay yang mana?
Mungkin pertanyaan ini harus kita gaungkan dalam kepala masing-masing; benarkah cerita-cerita sejenis kurang mampu diterima nalar dan pasar di negeri ini, hingga sedikit penulis yang mau menuangkannya dalam kata-kata? Sudah bebaskah kita sebenarnya dalam berpendapat, dalam mengaktualisasikan dan mengekspresikan diri, jika masih saja ada pihak-pihak yang represif terhadap apa yang kita punya dan kita kemukakan?
Mungkin betul apa yang mereka bilang; kebenaran hanya milik sebagian orang.
Dan ketelanjangan menjadi sia-si
Padahal telah dipertaruhkan
di atas harapan dan pengorbanan
Dan menurut aku pribadi, riuh rendah sastra dalam negeri perlu disemarakkan lagi oleh buku-buku seperti ini! Selamat merayakan kata-kata!
Buset. Keren bat. Ga bs bedain blurb. Mana review. Nyatu. Kata2nya indah. Kerja bagus master
LikeLike
Aih thank you ranger. Itu aku retell lagi jadi seperti ituch
LikeLike
Sukaaaak reviewnya 💞💞 Aku emang lagi ada niatan mau baca buku ini. Makasih yaaa~
Dan kurasa kamu memang telah menjadi pembaca sekaligus penulis di dalam lelaki terindah ini 😂😂😂
LikeLike
baca dong bebque, kemarin dapet dari clearance sale-nya gramedia.com, cuma 10K hahahaha
LikeLike